Kutulis kata hujan pada episode awal pertemuan kita, karena
kutahu hatimu sedang
kemarau. Lalu, pada lembaran-lembaran
berikutnya, masih kutulis hujan karena kuyakin kemarau yang
sama
jatuh dalam setiap potongan rindu diantara kita.
Kepada kasih yang terkasih, di bumi kasih sayang Tuhan.
Selaksa do'a ini kupersembahkan khusus untukmu, untuk cinta
yang
tak pernah lelah mencintai. Semoga tiap hembus keikhlasan
senantiasa berlabuh pada nafasmu. Saat ini, masih kurasakan
senyum kesabaran yang tak urung dari bibirmu. Yang jelas aku
ingin
berjumpa, mendengarkan kalimat-kalimat penguat hati,
menikmati
kelembutan sikapmu.
Masihkah kau ingat, saat kau buat wajahku merah padam kala
engkau bercerita
tentang pria-pria tampan. Kau memang pandai
membuatku sedih, kemudian kau akan menghiburku dengan
lelucon-
leluconmu. Masihkah
kau ingat, saat aku tersedu di depanmu,
menyesal karena aku tak setampan dan sepintar mereka. Namun
dengan enteng kau malah bilang, memangnya siapa yang
memberikan semua itu, mau protes sama Tuhan dan aku hanya
tertunduk malu.
Sebutir mutiara yang terjaga jauh lebih baik dari sekarung
emas yang kilaunya menyilaukan, begitu katamu. Lagi-lagi kau
berhasil menenangkanku. Tetaplah menjadi sosok yang
sederhana,
seperti yang engkau katakan kepadaku, bahwa kesederhanaanlah
yang mengantarkan kita pada ketentraman hati. Maka tetaplah
menjadi sosok yang aku kenal, yang selalu sederhana meski
dalam
kemewahan.
Maka, ijinkanlah keresahanku mengeja namamu dan akan
kukatakan kepada lidahku untuk selalu menyebut namamu sebaik
mungkin, agar tiada lagi igauan mengusik lamunanku. Dan untuk
kedua tanganku, ijinkanlah untuk selalu memohon kepada Sang
Pencipta, agar harimu senangtiasa riang di sana.
Telah kumohonkan
kepada waktu untuk mengajariku
melupakanmu, tetapi tidak untuk membencimu. Telah kumohonkan
kepada harapan yang tersisa untuk menulis indah nama yang
lain,
tetapi tidak untuk menghapus namamu. Bahkan, telah kumohonkan
kepada mimpi untuk mengajariku melihat wajah yang lain,
tetapi
tidak untuk melupahkan wajahmu.
Ijinkanlah aku, memangkas habis ranting-ranting yang
menjuntai ke masa lalu, agar tiada pucuk yang akan melukai
hati
untuk
menggantikanmu. Sebab
dibandingkan sekarang, aku
berusaha membelah hati hanya untuk mencairkannya menjadi aroma
lain yang tak pernah kusukai wanginya dan tak pernah
kurindukan
wujudnya. Padahal sejujurnya, aku lebih menyukai hati yang
saling
memiliki walau terpaut jarak dan waktu. Dan pada saatnya sua
tertunai, kita bisa saling menumpah rasa dalam peluk abadi.
Jika keluh kesahmu mendahului hadirmu, maka jangan simpan
jejakmu di pelataran
takdirku. Jika cemasmu mendahului
harapanmu, urungkanlah niatmu untuk ikut serta berlayar
bersamaku. Dan jika ketidakpercayaanmu mendahului
keyakinanmu,
untuk apa lagi kita tautkan rasa ketika sepi berselimutkan
gelap.
Maka pahamkanlah dirimu bahwa cinta bukan hanya seperti yang
engkau inginkan, tetapi semestinya seperti yang kita
inginkan.
Jika dipengalan-penggalan waktu, warna-warni kehidupan
menggoda imanmu atau pada bait-bait kehidupan, buaian
merasuki
kesetiaanmu, maka janganlah engkau serta merta bagai daun
yang
tanpa kata meninggalkan dahan. Dan janganlah engkau serta
merta
bagai kayu yang tanpa kata dijadikan abu oleh api, kecuali jika
engkau telah memilih alur hidupmu untuk riang atas takdir
orang
lain yang kau porak porandakan.
Aksara ini kutulis, ketika dingin menjamah tulang dan
kupetikkan kalimat untukmu yang kuambil dari mulut para sufi.
Jangan pernah mengharap
terlalu banyak, pada dia yang
mengatakan mencintaimu, namun ia tidak pernah menanyakan
kabarmu. Sebab boleh jadi, dia tidak menyukaimu lagi, tetapi
dia
segan untuk mengatakanya.
Saya sudah mencium sinar bulan dalam gelap malam. Menari
dengan indah kepak
sayap beribu burung. Aku pernah melihat
keindahan sabana yang luas. Merasa damai dan menulis cerita
itu
sendiri. Aku sudah melihat dunia dari tingginya gunung.
Terasa cinta
dari air mata paling murni. Aku pernah melihat lembah penuh
bunga.
Melihat ratusan kupu-kupu menari indah. Aku sudah berlayar
dalam
mimpi yang sempurna. Aku pernah melihat matahari bercumbu
dengan laut. Aku sudah mencium hangatnya mentari dalam
peraduan. Aku bahkan pernah merasakan sentuhan keajaiban.
Tapi
kali ini aku ingin menyentuh tangan itu. Dengan keikhlasan
yang
melingkar di jari. Merasakan kedamaian dan menulis cerita
itu
bersamanya. Saling berpegangan dalam indahnya kesungguhan,
bersamamu.
Semacam hujan yang malu
mengirim gerimis pada matamu.
Aku tahu itu bukan sakit, itu cinta yang lugu. Sebab
menemukanku
adalah mimpimu yang ranum. Dan kita mulai menghitung
kesempatan pertemuan. Semudah senjakah menemukan malam?
atau sesulit pelangi di musim kemarau? lalu kita membuang
lelah
sejenak. Semacam kuntum melati menunggui mekar, akulah taman
itu yang sedang basah di bulan ini dan kita tak sepi lagi.
Seperti
gerimis itu, percayalah bahwa aku tak pernah jauh.
Untuk hal yang demikian, tidak perlu engkau meramal
takdirmu, tetapi
pinjamlah sebuah kalimat dalam literatur yang tua
bahwa pada hal-hal
yang kecillah seorang pria melihat ketulusan
cinta seorang wanita. Dan ambillah sebuah kalimat dan katakan,
maafkanlah kesalah-kesalah kecil perempanmu agar engkau
mendapatkan kebaikan-kebaikan besarnya. Karena meskipun hati
mereka bagai logam yan
di tempah dingin, tetaplah mereka tidak
akan terlepas dari hakekatnya bahwa mereka terkadang untuk
dimengerti.
Sangat sulit untuk kujelaskan kepada diriku sendiri,
bagaimana mungkin engkau mencintaiku, tanpa ada rindu pada
jarak yang terbentang. Sangat sulit untuk kumengerti, bagaimana
mungkin engkau mencintaiku, tanpa ada pernah cemburu yang
terlintas dibibirmu.
Jika hadirku tak lagi menjanjikan sapa, sudah pada
tempatnyalah, langkah tak
lagi kuayungkan. Jika namaku tak
lagi
menjadi penghias penggalan-penggalan doamu, sudah pada
tempatnyalah, aku berdoa untuk keselamatanku sendiri. Dan jika
engkau telah berbahagia di sana, bukan pada tempatnya aku
harus
bersedih, walau itu teramat sulit untuk kujelaskan kepada
diriku
sendiri.
Kalau tak mungkin lagi hujan menyejukkan hati kita, untuk
apa aku disini. Kalau tak mungkin lagi kita bercerita
tentang cinta,
maka biarkanlah aku pergi
jauh. Untuk apa lagi mendayung
rindu,
kalau dermaga tidak lagi menjanjikan sapa. Untuk apa lagi
menenun
kesetiaan, kalau benan-benangnya menjuntai tanpa makna.
Dan untuk apa lagi menggantungkan asa, jika langit telah
melukis pucat wajah takdir. Agar pusara tetap bernisan, maka
cerita
lain harus ditulis bersama yang lain dan di tempat yang lain
juga.
Dan untuk hidup yang telah diwarnai, biarlah waktu yang
memudarkannya.
Ketika kesetiaan adalah kata yang terlantarkan makna atau
ketika kesetiaan hanya mengumpulkan air mata yang jatuh
untuk
diselipkan di ruang jiwa yang sunyi dan
ketika kesetiaan hanya
memasung nasib terbuai pada ikrar, lalu untuk apa kita di sini,
membiarkan takdir membusuk.
Jika kumbang kembali ke mawar yang sama, bukan karena dia
setia, tapi satu sayapnya tertinggal di kelopak mawar itu.
Jika
belibis kembali ke muara sungai yang sama, bukan karena dia
setia,
tapi hanya untuk
melihat derasnya sungai tempat dia di lahirkan.
Dan jika dia datang kesini, luka yang membusuklah yang ingin
diketahui.
Berlayarlah esok denganku
dan bagai tuanmu
akulah
nahkodanya. Kita arungi pekatnya takdir dan melintasi
resahnya
sebuah jiwa. Sebab di sana masih ada asa yang terlantarkan
badai,
masih ada dermaga yang meretas asa dan tuanmu belum lupa
cara
untuk jatuh cinta.
Ketika langit menggambar pucat wajah takdirmu atau ketika
semburat jingga tidak lagi mewarnai langit senjamu dan
ketika
perihmu, hanyalah gurauan sunyi, ketika resahmu, tidak lagi
seirama
dengan melodi Tuhanmu, janganlah serta merta, bagai
remah-remah
yang pasrah pada angin. Sebab semestinya, engkau adalah kaisar
bagi jiwamu dan nahkoda untuk hidupmu. Sebagaimana laut yang
setia pada takdirnya untuk menerima apa yang dihanyutkan
sungai.
Ketika cinta menjemputmu, jangan serta-merta kau
lambungkan harapanmu ke langit biru, agar engkau tidak
mendapati
jantungmu luka dan berdarah. Jika cinta meninggalkanmu,
jangan
serta-merta kau lusuhkan pekertimu, agar engkau tidak
mendapati
dirimu menjadi permainan nasibmu sendiri.
Sebab aku dan kamu adalah jelmaan rindu yang dibingkai rasa
dalam waktu tak berkesudahan. Kita merapal masing-masing
kisah
dalam benak yang terpatri. Kemudian menghunuskan sebongkah
ciuman pada bibir waktu kehidupan. Dalam tutur nadi pencarian-
Nya, bukankah kita adalah jiwa yang dipenuhi bunga
bermekaran
indah, yang tiap detak masa kita hanya mengulum manja di
peraduan.
Sebab aku dan kamu adalah bongkahan waktu yang mengiba
pada malam tak bercahaya, menyatu dalam warna rasa sejuta
keindahan. Bagai bisikan lirih hati pada wajah meronah
merah,
senyum menggelayut indah di bibir manismu. Getir asmara
dalam
masa yang berkilau, detik-detik meniti dalam pekatnya malam.
Sejurus kemudian, hampa di ruangan senyap tak bersenyawa,
hanya
meninggalkan jejaknya dan kita menyebutnya
"Kenangan".
Sebab aku dan kamu bukanlah kata yang patah atau sajak
tanpa diksi, melainkan hanya ukiran lembutnya nafas cinta
dalam
mendendangkan kisah, dimana kitalah pelaku utamanya.
Sejatinya
rasa dalam semerbak wanginya taman firdaus, hingga jejak
dimana
akan berdiri kokoh, menambatkan hati pada semilirnya masa
berderai indah.
Sebab aku dan kamu akan tercipta rindu, bayang tak kasat
mata dan jiwa yang saling menautkan wajahnya pada rerupa
cinta
yang membatin. Karena kita tahu hakekat cinta dan
pengembaraan
masanya. Bukankah tiap waktu adalah taman bermain keindahan
rasa yang sedekitpun kita tak pernah berjumpa. Sementara
kita
pahami jiwa adalah ruang-ruang batin bermekaran sempurna,
meneteskan pilu nadi kehidupan, buyarkan jejak suram, ciptakan
dunianya sendiri. Sebab aku dan kamu, seiring waktu yang
berjalan.
Bingkai kesempurnaan rasa dalam mahligai cinta-Nya.
Tiada terpisah memisah kisah, hanya getiran waktu sebagai
ujian Cinta. Tiada terpenggal jarak, terhentakkan masa,
kelamnya
rajutan luka, melainkan sebagai penguat rasa cinta. Tak
terhunus
peluh derita jiwa, kala raga bersua tambatan hatinya. Sebab
aku dan
kamu adalah jejak yang diabadikan masa, sejarah dimana rindu
dan
kehangatan jiwa saling bertautan mesra, mengeja nama kita di
penghujung kisah abadi.
Seumpama titian, kau ragu akan terjatuh jika melewatinya.
Kalau-lah kau percaya, sebagaimana yakinnya aku, suatu hari
kita
akan paham bahwa hatilah yang mempertemukan dan itu tak
sebanding dengan luka hari ini;
Jika mata ini engkau tunjukkan warna-warni hidayah, maka
kami akan jadi orang yang selalu bersyukur. Namun, engkau
hanya
bisa memberikan kami perasa dalam dada, agar kami senantiasa
berharap. Engkau menuntun lidah kami untuk berucap, jika
kehendak-Mu bekerja dalam hidup. Engkau membuka telinga kami
untuk mendengar, jika pertolongan-Mu menunjuki jalan yang
lurus.
Engkau menenangkan hati kami untuk ikhlas, jika nikmat-Mu
menggantikan musibah. Engkau mempertemukan kami dengan
belahan jiwa, jika kehendak-Mu dalam jodoh itu indah.
Demi waktu yang engkau lambatkan untuk umur kami, agar
kami bertaubat. Demi nasehat dan tausyiah yang disiarkan
kepada
kami, agar kami sadar. Demi sepertiga malam ini, besok, lusa
atau
dalam batas istiqomah kami, berikanlah kami curahan
rahmat-Mu
untuk menjauh dari laknat-Mu dan ampuni kami dengan ampunan-
Mu, agar kami menjadi hamba-Mu yang terbaik dalam iman.
Masihkah kau ingat bisikan cintaku, kala senja menggerogoti
waktu. Kau paksa aku memandangmu penuh puja dan memelukmu
mesra. Sadarkah kau kini, kalbuku luluh di ujung waktu,
bergemuruh
nada rindu dan kuutus bersama kabut, mentari atau apapun
itu, aku
jatuh tersungkur karenamu. Masih ingatkah kau, saat aku
tidur di
pangkuanmu dan bercerita tentang kita, tegakkan tiang
penyangga
harapan fitri akan mimpiku dan mimpimu membangun istana di
ujung cakrawala.
Masih ingatkah kau, saat aku tidur di pangkuanmu. Bibirmu
fasih melantunkan kata dan angin pun terdiam bisu, terpukau
akan
kesyahduan syairmu. Apalagi aku, terlelap damai dalam peluk
mesramu. Aku ragu, kau pergi bertemankan angin pagi dan
beratap
awan beriring redupnya mentari. Tetapi, aku akan tetap
menunggumu di pojokan waktu karena aku telah memujamu sampai
kau ingat lagi, saat aku tidur dipangkuanmu.
Sambil menepi, kusapa sejenak ingatan tentang cerita seusia
samak di tubuhku. Tanpamu rinai ikuti perjalanan kemanapun
jejakku melangkah lelah. Anugerah seketika datang tanpa rasa
getir, betapa mungkin dalam jangka sepekan ini. Cawanku
bersemangat sibuk melempar petir, mendorong sukmaku bertemu
pujaan hati.
Tujuh hari yang lebih indah dari seluruh masa, ketika
kubiarkan diriku lelap di belaian kekasih. Jangan lepas
keperkasaanku dari
dekapanmu, karena kuikhlas menjadi
tawananmu tanpa keluh. Mulutku selalu rakus menanti embun
beningmu, telingaku tak pernah sabar mendengar sapamu,
tanganku
tak pernah kuasa henti menyentuhmu dan istana megah hidup
akan
luluh lantak tanpa hadirmu.
Perih selalu kurasa ketika engkau sesaat berlalu sedangkan
hatiku selalu saja nikmat di pelukmu. Sedekat inikah perih
dan
nikmat cinta bertemu, kala mendulang roman kasih indah
bersamamu. Namun, merpati putih membawa setangkai melati dan
pada tiap kelopaknya tersurat amanah perintah diri. Kembali
menekuni avatar di kehidupan yang pasti dan hanya menyisakan
luka, melepas genggaman kekasih hati.
Namun, tak usah kau benci jarak ini, karena tanpanya, kau
tahu, cinta takkan terasa dan rindu takkan terbit. Demi
rusuk yang
ku pinjamkan untukmu, tidaklah kuberharap, engkau bagai
tiang
sampan yang setia bermain di deburan ombak. Bagai karang
yang
setia dihantam badai dan bagai laut yang setia menerima apa
yang
di hanyutkan sungai.
Jika ada yang patut kuharapakan dari sebuah rasa yang
bergelora, tidak lain adalah ajari aku untuk mencintaimu dan
tuntun
aku untuk menjadi imam untukmu. Atas nama ketulusanku yang
mengibah, kumohon patrilah di hatimu bahwa
aku bukan purnama
yang akan membiaskan kilau untukmu, karena aku hanya kunang-
kunang yang hanya mampu menghiasi gelapmu.
Aku bukan mutiara yang akan menghiasi harapan dan
takdirmu, tapi
setidaknya aku adalah serpihan mutiara retak yang
didamparkan masa lalu untukmu. Demi rusuk yang kupinjamkan
untukmu, demi kesetiaanku yang telah kubasuh air mata dan
demi
doa yang telah kupanjatkan tanpa letih, ijinkanlah sekali
lagi
kubermimpi untuk tua dan mati di pelukanmu.
Ketika suatu hari tanpa sengaja aku terseret pada keindahan
runtutan kata-katanya. Masih terngiang dalam ingatanku sapa
hangatnya menembus indah hatiku dan memenuhi udara malam
yang hampa dengan jerit laraku. Ia senantiasa mengisi setiap
gelapku, menemaniku duduk di singgasana malam berselimutkan
kabut, menenggelamkan diri jauh ke dalam relung jiwa menuju
ke
dasar pusaran hidup akar gemilang semesta dan berharap
menemukan diri di ujung malam.
Dan hadirnya mampu mengalirkan keindahan dan kehangatan
serta memporak-porandakan sepi dan keheningan. Sampai
akhirnya
rangkaian-rangkaian perasaan indah yang kian hari tumbuh
menggunung memenuhi rongga dadaku bermuara menjadi satu ke
dalam cinta.
Cinta telah melahirkan begitu banyak kata dan aku
merasakannya, ia datang tanpa aku minta untuk menghampiri.
Ia
mengaliri jiwaku dengan titik-titik lembut tetesan segarnya.
Setiap
lirih kata dari mulutnya menyiratkan kelembutan perasaan,
ketajaman fikiran yang senantiasa bergaul dengan
kebijaksanaan
dan pencerahan. Aku
tidak tahu harus bagaimana lagi
membahaskannya selain bahwa bersatu dengannya adalah sebuah
rasa kebahagiaan yang purna dan bisa memadamkan kemarahan,
mendamaikan benci, menghalau kesedihan dan mengisi
kegersangan dengan bahagia
yang ia janjikan. Ia mengaliri relung
jiwaku yang kosong dengan hasrat yang terpendam lewat
ucapannya.
Ia adalah bahasa jiwaku lewat kesendirian dikala hening
menemaniku dan dikala malam mulai menyergap dan menegur
lamunanku. Aku berharap bahwa aku adalah sekuntum bunga yang
hidup dalam tangkainya dan senantiasa bersama dengannya
untuk
mengisi kehidupan ini dengan keindahan. Kita kembali berada
pada
lintang dan bujur yang berbeda, di ruas usia yang tersisa,
karena
hidup adalah aliran sungai yang hanya mampu mengikuti
lelikuannya, mengalir menuju kiswah muara yang tak satupun
kan
mampu menyingkap rahasianya.
Detikkan saja kerinduan itu di denyut nadi monoton acuhkan
irama, karena dendang terlalulah banyak tercipta meski hanya
berbekal tujuh nada,
ikhlaskan saja pada rembulan yang mengaliri
langit gelap bila kelat merajam lelah, namun ini jalan yang
tepat
menuju fajar yang berufuk di sudut pagi.
Pada langit yang sudah tak lagi muda, aku masih saja
berbalut
sepi di tengah keramaian, menyalahkan angin yang membuat
daun-
daunku tergugur dan jiwaku meranggas, menyalahkan kemarau
semusim yang membuat tanah kering dan menyelusupkan
kegetirannya. Sejauh apa engkau mengepakkan sayapmu kini dan
seriang apa engkau menemani detak waktu di sana, semoga saja
hembusan angin yang berbisik disekat sunyi, masih terdengar
olehmu.
Tiang sampan tempatmu berpijak duhulu, batu karang
tempatmu mengais asa dan deburan ombak yang menemanimu
melewati hari, adalah
irama kehidupanmu juga, yang semestinya
tidak kau campakkan. Sebab
ada kebaikan-kebaikan cinta, yang
dapat kau petik di sana.
Di masa lalumu, ada syar-syair hikmah yang dapat kau ambil
dari penggalan-penggalannya yang berlalu, yang dapat menjadi
lentera ketika engkau menapaki gelap diseparuh hidupmu. Dan
masa lalumu biarlah di sini, abadi di bingkai waktu. Tapi
jangan
pernah dustai takdirmu bahwa engkau pernah di sini, menyulam
asa
bersamaku, walau akhirnya karam.
Tidaklah kuberharap, engkau bagai karang yang setia di
hempas gelombang. Tidaklah kubermimpi, engkau bagai laut yan
setia menerima apa yang di hanyutkan sungai dan tidaklah
kumendamba, engkau bagai embun yang resah menuggu pagi. Jika
ada yang patut kuharapkan, menjadilah seperti adanya,
menjadilah
seperti yang dikehendakai hatimu, agar aku tidak mencintai
pantulan diri sendiri.
Sampai kapanpun, matahari akan tetap terbit, tanpa belas
kasih pada yang mengibah dan sampai kapanpun matahari akan
tetap terbenam, tanpa iri pada yang berbahagia. Kalau
demikian
adanya, untuk apa kutenggelamkan diriku di lautan kesedihan,
jika
hadirku tidak lagi menjanjikan sapa.
Aku merasakan kegamanganmu berjalan sendiri menempuh
titian asa, dan aku tahu ini sungguh berat untuk dipikul
tegar yang
harus ditegarkan, memang tak semudah mengeja jari, setahun,
dua
tahun, menahun, menimbun.
Malam ini kudatang sejenak
menuntaskan kerinduan benih yang baru saja membentuk akar
dan
daunnya, meski meranggas pastikan merimbun lagi, namun
kekekalan adalah kerinduan
yang seharusnya ada dan semestinya
ada.
Kekasih, tak usah seduh kerinduan dengan hangat air
matamu, simpan saja untuk penyiram akar impian, biar kemarau
tak
dahagakan, pada penghujan biar meruah, menyuburlah ladang
cinta
lama terbenih.
Kekasih, sejenak itu takkan lama, meski tuntas nanti kan
bertunas pula, rawatlah aku dalam bingkai rindumu, ketika jauh
inginkan dekat, penguat satu kian menyatu, karena memang tak
mudah untuk merindu
dan biarkan saja lewat rinai keheningan itu
untuk kumelukiskannya.
Embun menetes menabuh dedaunan, seiring lengking lirih
bahasa batin tak terderukan, hanya kekecewaan membiak di
ladang
kosong, sedang berjuta benih selalu kau tanam. Kemana hendak
menjemur, sedang bayang tak sepenuh badan. Haruskah berlari,
sedang tepian hanya jurang tak bertitian. Hidup tengah
bernaung di
sekapan pedang mengancam urat nyawa, meski menangis, genang
takkan cukup memandikan lumpur penindasan.
Dan guliran waktu pun kian menguatkan akar kejenuhan.
Sedangkan di julangan batang kian luas untuk memandang dan
sesak dedaunan tutupi
kehangatan walau kebekuan seakan takkan
lagi mampu ditakik perasaan. sempurna berbuta nurani,
menyusun
kelam, yang ada hanya makian pada telisik kebeningan yang
diciptakan, tak berarti, tak berharga diri dan tampungan
seakan titik
yang menggumpal bagi matahati kering.
Namun aku yakin pada bingkaian teguh ketulusan, tak ada
yang percuma, seperti sia-sia yang tak pernah lekat untuk
rerumputan kering di pinggir jalanan, selagi tak hampa celah
batu
karang pasti menumbuhkan. Tak usah berhenti, tak usah
meragu,
keringat mengalir adalah siraman subur tanam keikhlasan dan
hentikan perhitungan, karena ini bukan aljabar dalam rujuk
perumusan.
Hanya darimu milikmu dan pasti padanya yang darinya, jalan
seribu rahasia semesta menentukan, untuk apa menumpuk bila
kan
membusuk, biar saja mengalir untuk berakhir, bukankah tujuh
tangkai kan seratus biji.
Buka saja pintunya, singkap terus
jendelanya, semilir tak berufukkan memasukinya, usah gamang
dan
kecewa, panjatkan saja doa keselamatan bagi kesesatan,
karena
Tuhan punya cara untuk menyeimbangkan.
Sepertinya seruak rindu ini mulai menggebu dan tak ada yang
mampu menahan tiap butir kasih-Nya. Nyata dalam pangkuanmu
dengan untaian
mutiara tasbih tergerai syahdu. Jika
engkau
merindukanku, pintalah Sang Maha memurahkan doa agar ia
menghinggapi hatimu dikerinduan pasti sebagai perantara
Ilahi
untukku.
Di antara malam kulewati dan ada satu malam syahdu
menerangi
kecupan-kecupan dingin tak henti. Namun, kehangatan
rindu menyekap diri dihadapan Ilahi. Biarlah malam ini, satu
malam
merengkuh rasa, tergerai, teruntuknya sosok seberang yang
sedang
menyelami hati.
Mungkin, kita perlu mengetahui tentang perihal
percakapan ombak yang paling purba dan berbicara tentang
cinta
sedang pusarannya tak sampai padamu. Padahal kau selipkan
rindu
pada kesiur angin yang paling gigil di kala purnama, berharap aku
masih baik-baik saja bergelut dengan tubuh-tubuh samudera.
Ada yang tak kau mengerti dari bahasa laut, tentang perihal
seberapa erat jemari air bersidekap dengan gelombang saat
badai
tiba. Sejatinya di tubuh-tubuh samudera yang dijamahi badai
kutemukan bayangmu tengah menjenguk semacam tunggu yang
tiada pernah ada batasnya.
Ada yang tak kuceritakan padamu perihal bahasa laut, tentang
kesabaran angin melahirkan badai, lalu keluhuran badai
mencintai
ombak, hingga kesetiaan ombak menikahi samudera. Hakikatnya
inilah sebenar cinta yang belum sempat terucap untukmu, maka
bersabarlah dalam tunggumu hingga aku tiba.
Senja, mengukir langkahku diantara rintik hujan dan kususuri
rindu tak berkesudahan. Sebuah perjalanan, sebuah kenangan,
sebuah rindu, bergumul dalam hatiku. Masih jelas kuingat,
kau ulur
tanganmu, kau genggam jemariku dan di bawah payung warna
biru,
senyummu menyambut hadirku. Rasanya, ingin sekali kupeluk,
kutumpahkan segala rindu, dalam pangkuan kasih sayangmu.
Kelam malam, membuatku terdiam menahan gemuruh yang
mengguncang dalam dada. Ingin kubuang saja hati ini, agar
tiada
kurasakan nyeri yang menyayat begitu perih selama ini. Hitam
rambutmu tergerai, sesekali melambai dipermainkan angin.
Langit mengelam dan gulungan awan kian hitam. Sekilas,
kulihat wajahmu begitu sayu. Seolah belum puas hatimu, untuk
menghabiskan waktu bersamaku. Sekali lagi, malam menyekapku
dalam gemuruh rasa. Menyaksikanmu dalam pelukan cintanya,
mengukir luka tiada tara. Membakar hati yang tak mau mati.
Kemana kau selama ini, bidadari yang kunanti. Mengapa baru
sekarang kita dipertemukan. Tanpa kuduga, kau terduduk di
pembaringanku. Dengan alasan untuk memberiku selimut, kau
bangunkan aku. Sepasang mata indahmu, lekat menatapku,
memendarkan cahaya yang terpancar dari hatimu. Sekejap
kemudian, kau menghambur memelukku.
Jangan larang aku, entah kapan lagi kumampu memelukmu.
Sekali ini saja, ijinkan aku, merasakan peluk kasih
sayangmu. Esok,
kau kan pergi dan mungkin, ucapmu, lirih bagai elegi.
Sungguh, aku
tak kuasa menolak dan kupeluk erat hingga jelas kurasakan
degupan di jantungmu. Sekali ini, tiada mampu kutahan lagi,
air
mata mengalir basahi pipi.
Cinta, terima kasih atas segalanya, meski semua itu,
menjadikanku sang pendosa. Kan kusimpan di hati, sebagai dosa
terindah. Sesal takkan ada arti, karena semua telah terjadi.
Kini kau
telah menjalani, sisa hidup dengannya. Walaupun terlambat,
kau
tetap yang terhebat. Melihatmu, mendengarmu, kaulah yang
tetap
terhebat.
Semestinya kita seperti embun, meninggalkan tanpa
melupakan, memberikan kesejukan hati, menyisakan kenangan
tanpa pernah merasa kehilangan. Seperti mentari yang selalu
setia
menyinari walaupun terkadang mendung selalu menutupi
senyumnya. Itulah jiwa yang tak pernah lelah menabur
kebaikan dan
senyuman di setiap ruang kehidupan.
Pagi diantara gemercik embun pada titik bening daun yang
menyegarkan, kudekap dinginnya cahaya emas diufuk timur.
Remangmu menyuguhkan netra yang tak bisa kuungkap lewat
aksana.
Seindah jingga, berlari memeluk senja tersambut malam
bernoktah putih. Sampai kini, apa yang kudekap masih sama,
bagaikan senja yang setia menanti fajar. Benar kata orang,
datangnya hujan selalu mengobati rindu bumi. Dengan jutaan
rintiknya yang memeluk tanah, senja jingga menghibur
penantianku.
Berhiaskan pelangi layu menemani, nyatanya hujan tak
kunjung datang. Namun ku tetap yakin, Allah Maha Adil
merahasiakan sebongkah rasa untuk kita. Betapa Berharganya
cinta
dan untuk itulah kita berterima kasih kepada Tuhan Sang
Pemilik
cinta yang telah
menuntun jiwa untuk tetap tegar seperti gunung
dan kokoh seperti karang. Mengajarkan kita, bagaimana
bertahan
ketika harus dihempas kerasnya tamparan ombak dengan riak
gelombangnya.
Sekadar ikhlas memperjuangkan hidup dalam kesederhanaan,
terlenterailah kami untuk menyusun sepenggal kata menjadi
cerita.
Berlebihan jika kami sebut ini cerita yang bagus, sebab
meradangnya hati mengaburkan pengetahuan kami untuk
meletakan
dimana tanda bacanya.
Meski tak sempurna, sejatinya, ini adalah
sekelumit kisah atas peliknya kehidupan. Saat semua tak bisa
kami
bicarakan, maka menulis adalah jalan terakhir yang masih
mungkin
menenangkan hati kami.
Ambilah baiknya, abaikan buruknya, dan kabarkan kepada
kami kekuranganya, melalui doa. Agar Tuhan Yang Maha
Bijaksana
menyentuh hati kami untuk terus belajar. Merangkai kata,
membaca
tanda-tanda, agar tak lepas kata dari maknanya. Maka,
kupinang
kemegahan cinta Sang Pencipta cinta dalam hikmatmu.
Kusisihkan
belia cinta kasih Tuhan disudut mahkamah penguasa hati para
pecinta cinta,
teruntuk syair-syair nan terbata membingkai makna
keselarasan. Kuhela nafas bunga-bunga pemikat aksara dalam
kekhusyukan do'a-do'a malaikat pemerhati hati jiwa-jiwa
cinta.
Dan kubiarkan pangku tangan tetap terpanjat pada-Nya untuk
keridhoan dalam merindukanmu, dari ketiadaan wujud merengkuh
asamu. Sebab, derai air mataku disetiap sujud, seakan tak
pernah
cukup untuk menjagamu. Semoga Allah berikan aku umur panjang
agar aku bisa menemanimu sampai akhir.
Jika aku dapat menulis puisi-puisi cinta, akan kutulis
seperti
yang dikehendaki takdirmu, semoga aku dan harapanku dapat
menjemputmu. Jika aku dapat memberi roh pada
aksara-aksaraku,
akan kujelmakan diriku menjadi huruf-hurufmya, semoga aku
dapat
membimbingmu untuk menemani separuh takdirku yang tersisah.
Kutuangkan dengan sebentuk kata, sebentuk cinta, cintaku
yang terpendam pada-Nya. Jujur, kadang aku malu mengatakan
bahwa aku benar-benar mencintai-Nya. Tapi Dia selalu
menunjukkan
jalan padaku untuk terus melafazkannya. Sebab cinta selain
terletak
di hati, juga wajib diucap, diikrar dan diazzamkan. Aku
berharap,
cintaku pada-Nya takkan ada tandingan. Yang terpenting
adalah
ketulusannya. Seperti ketulusanku mencintainya kelak. Entah
siapa
dia ?
Pagi membangunkanku lewat kicauan alam, menyibak mentari
yang menyapa dari mimpi tentangmu semalam. Ketika angan
lebur
dalam meniti perjalanan kita, ketika gaung rindu bergema
tanpa
suara dan ketika hasrat terbelenggu dalam ruang tanpa jiwa.
Kemarin kau tabur ceria dari gulir hari yang kulewati.
Kemarin ada
belai mesra dari senyum indah yang kerap menyapa. Apakah
semuanya hanya fatamorgana, semu tanpa rasa ?
Ke mana semua itu, ke mana kan kucari jejak bisu, padahal
aku tergugu di sini, menanti harap yang tak pasti. Aku tau
kau ada
dan selalu ada di sana. Menatapku dalam diammu, mengikuti
dalam
bayang, namun begitu pengecut untuk satu sapa terlantun.
Larik-
larik sajak yang tertuang dan syair-syair yang tercipta itu
juga
milikku darimu. Aku tak ingin mengganggumu dengan keluh
kesah
ini, lanjutkan inginmu apapun itu. Namun satu harapku,
kembalikan
ceriaku saat sebelum kau rengkuh hatiku. Hanya itu, dan
tulisan ini
abaikan saja, saat satu hari merpati membawanya padamu
dariku
yang selalu merindukanmu.
Jika mencintai adalah anugerah, maka berikanlah kami
anugerah iman yang kekal padamu karna hanya Engkau yang
dapat
menjaga kasih, sayang dan cinta kami hingga pada waktu yang
telah
Engkau tentukan. Aku tak pernah tahu apa yang aku rasakan,
tapi
aku selalu mengerti akan bagian yang hilang saat aku jauh
darimu.
Kau adalah nyayian di musim gugur, mengalun bersama syair
pada kemarau di waktu kelam.
Tak seharusnya terlantun kala itu,
namun bayang menari dengan nada hening di waktu dingin.
Seperti
kata tanpa terucap, seulas senyum mengecap indah dengan
kebahagiaan sebuah tanya.
Sanggupkah engkau untuk melepas gamang yang terngiang
dan mampukah engkau untuk menari dengan nada hening kala
mengalun dalam sebuah angan tanpa nyata. Padahal, tiada jiwa
tersesat tanpa rasa yang pekat nan melekat pada waktu ia
mengalun dengan bisik-bisik tak terusik. Menjerit bagai
senyum,
bersorak seperti diam. Dalam keheningan sebuah nyanyian,
ialah
nyanyian nada heningku.
Terdengar dari sebuah degub jantung, berdetak penuh gertak,
seiring detik yang terus menggelitik kala hening
menggigil oleh
rintik yang menyuntik. Kamulah suara tanpa bisik, mengalun
tanpa
sebuah syair yang terlantun, namun keheningan bukanlah
alasan
kenapa kita harus tertegun. Tetapi bagaimana awal yang indah
dapat tersusun.
Pada singgasana sebuah istana rasa, telah membuncah jemari
menorehkan asa. Ayunan langkah petikan nada ia sendu menyapa
di
kesyahduan malam. Bisik itu mengusik kisaran rasa dibalik
samarnya terang dahaga lentera. Sementara,
aku asyik menanak
tabah diluasnya tasik yang menghiba. Dan Aku terpaku pada
keheningannya, sesaat diam namun hati bergeliat menanti akan
sebuah sapa. Untaian nada yang dinanti takkan terhenti oleh
jemari,
hingga semua mendengar rintihan suara hati pergi dan
terganti oleh
bisik sang bidadari mimpi.
Kebenaran ada di tangan orang-orang
yang jujur, tapi hanya Tuhan yang berhak menentukan kapan
kebenaran itu bisa terungkap. Aku ingin menghuni sebentuk
bibir
indahmu, mendiami rekahnya yang kuyakin begitu sabar
mengalunkan ayat-ayat ilahi dengan begitu syahdu. Lalu kau
wujudkan adaku dalam santun tutur, meneduhkan setiap jiwa
yang
mengapai-gapai rindu.
Perempuan berwajah cahaya, selipkan aku pada sela-sela
jilbabmu, agar hanya aku yang mampu menyibak anggun rambutmu
yang engkau seka ketika berwudhu. Lalu turutlah aku dalam
sujud
cintamu ketika bermohon jodoh terbaik bagimu. Perempuan
berwajah cahaya, sungguh segala padamu ialah terindah.
Matamu
yang merupa tatap sayu, bibir merah delimamu yang begitu
ranum
bagiku, hingga alis matamu yang tiba-tiba mewujud seratus
untai biji
tasbih dalam ikhtiarku untuk mempersuntingmu.
Aku tahu, menyusur purnama di wajahmu ialah perjalanan
seumur hidupku, namun aku tetap meneguh yakin di relung
kalbu,
bahwa tertuju pada purnama di wajahmu akan menjadikanku
kembara kasih yang dinaungi dzikir-dzikir cinta syahdu,
hingga
sampailah aku padamu lalu kukecup keningmu di depan
penghulu,
sembari berujar: terimakasih telah berkenan menjadi kekasih
halalku.
Katakan padaku tentang kehilangan, apakah ia serupa dengan
sebatang penyesalan yang mengakar dan meranting daun-daun
kesedihan di puncaknya. Ceritakan juga padaku tentang
penyesalan,
samakah ia dengan arus kekecewaan yang melewati ambang,
sehingga meluapkan kepedihan sampai ke hilir dan
membanjirinya
dengan kubangan lumpur nestapa.
Saat Tuhan mengharuskanku untuk mengikhlaskan
kepergianmu, saat itu pula kau harus mengerti betapa
sulitnya tuk
menghapus bayangmu. Sebab, kesalahan atas kebodohanku ini
takkan pernah bisa terlupa, saat aku salah menilai arti
senyuman,
yang aku anggap cinta sempurna namun hampa pada nyata.
Memang tak seharusnya untuk aku ungkapkan, meski jiwa tak
dapat lagi menahan rasa ingin memilikimu yang tak pernah
menginginkanku. Dan kini, aku hanya bisa tersadar, betapa
pahitnya
kehidupanku saat aku melihat kebahagiaan yang dimilikinya
untukmu. Kau dapatkan
semua yang kau inginkan, tinggallah
senyumanmu kini bersamaku yang selalu bahagia melihatmu
bahagia bersamanya.
Terlalu lama rasa ini memasungku dan membebani jiwa
dengan pilu. Merangkak melewati hari dan sendiku pun serasa
mati.
Kemana akan kuadukan pilu, sedangkan seluruh semesta
sepertinya
sudah tak sudi untuk menatap, karena telah menyia-nyiakan
seorang
mahluk Tuhan yang telah dikirimkan padaku.
Rindu, mengapa sulit bagiku untuk bisa berdamai denganmu.
Bisakah sedetik saja kau tak hadir dan membebaskan jiwaku.
Biarkan kunikmati indah dan syahdunya malam tanpa beban.
Kuingin sejenak menari di desahan angin yang membelai sudut
kotamu yang indah. Menikmati gemerlap kelap-kelip cahaya lampu
yang berpendar dan menerangi seluruh sudut kotamu.
Titik demi titik telah basahi kotaku dan apakah kau juga
bisa
membasahi rindu yang meredam di hatiku. Untuk rinduku yang
di
sana, ketahuilah bersama hujan ini kubercerita, semoga kita
melihat
hujan yang sama dan mengerti tentang cerita rinduku
bersamamu.
Terkadang aku menangis di bawah rinai hujan dan berharap
kau datang mengulurkan payung kehangatan. Namun, hingga
kuyup
ragaku, tak jua kutemukan jejakmu. Malaikatku, seandainya
satu
sayapmu telah patah, ijinkan ia tergantikan dengan milikku.
Dan
lukamu, biarkan diriku menjadi pengobatnya.
Jika dulu akan ada jemari yang mengusap kedua mata saat
mereka mulai menghangat, kali ini tak ada yang menahan air
mata
agar tidak tumpah. Jika dulu ada segurat senyum yang
meneduhkan
hati saat hati ketar-ketir, kali ini aku harus menunggu bulan sabit
setiap malam dengan sinarnya yang redup. Jika dulu akan ada
sepasang mata dengan sinar yang cerah menghiburku, kali ini
aku
harus menengadah menatap bintang di langit untuk dapatkan
sinar
yang sama. Ke mana bulan yang selama ini menemaniku dengan
sinarnya yang begitu tajam, seolah ingin tersenyum melihat
kebahagianku bersamamu.
Berlatar rembulan senja, kutitipkan seutas rindu untukmu
wahai gadis bermata elang. Bersama sang bayu dan tetesan air
mata, kusematkan untaian nada kasih untukmu. Apakah aku salah
memberikan cinta, meski ku tahu kau adalah bintang yang jauh
dari
gapai rumput liar ini. Tapi, sampai kapan aku harus berdiri
menanti,
mengejar embun diteriknya mentari. Mungkin saja, aku terlalu
rapuh
untuk mencintai, bahwa
sakitnya mencintai tanpa dicintai itu
menghancurkan relung sukma.
Kutulis kisah di atas kertas yang putih, seputih cinta yang
telah tersimpan di hati. Mula cinta bersemi asri, harum
mewangi
mengasihi, sewarna pelangi indah mewarni nan manis menghiasi
nurani. Pasti aku akan merasa jadi insan paling bahagia,
andai kisah
kasih tiada berakhir. Namun laksana awan menjadi cintaku,
nyatalah tak dapat digenggam. Semerawang cintamu melayang
dan
paduan kita telah usai, ditelan suratan. Kini tinggal aku sendiri
berteman sepi, dengan harapan dan mimpi yang hanya tercurah
kepadamu bahwa tak mudah untuk aku akhiri. Karena setiap
detik,
bayangmu selalu menghampiri. Padahal bersamamu sampai
matilah
yang kuhajati. Namun ternyata Tuhan tak menghendaki dan
mungkin
sudah takdir kisah kita untuk berakhir.
Meski hanya dirimu yang menjadi hakikat cintaku, namun
percintaan kita tinggal kenangan. Aku sadari, tak mungkin
lagi
kumengharapkan cinta silam agar terulang. Aku mengerti, tak
mungkin juga dirimu kudambakan untuk bersama di masa datang.
Karena kau telah menjadi milik orang.
Hanya do'a yang kini bisa kupersembahkan untukmu. Selamat
menjalani kisah baru dan semoga engkau tetap bahagia tanpa
aku.
Meski awal berjumpa dan akhir berpisah, tapi cinta tetaplah
cinta.
Dahulu cinta, sekarang cinta, hingga akhirpun cinta. Dan
selamanya
kau akan tetap kucinta.
Dan pada akhir episode ini, tak ada lagi yang bisa kutulis
karena kata hujan tetaplah hujan. Dan kau telah mengambil
terlalu
banyak kisah yang tak bisa disampaikan kemarau pada musim
setelahnya. Sedangkan hujan yang menutup bab-bab tentang
kita
adalah air mata yang kuambil dari tiap-tiap ingatanku
tentang
dirimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar