Selasa, 14 Oktober 2014

Satu Bab Tentangmu

Kutulis kata hujan pada episode awal pertemuan kita, karena
kutahu  hatimu  sedang  kemarau.  Lalu,  pada lembaran-lembaran
berikutnya, masih kutulis hujan karena kuyakin kemarau yang sama
jatuh dalam setiap potongan rindu diantara kita.

Kepada kasih yang terkasih, di bumi kasih sayang Tuhan.
Selaksa do'a ini kupersembahkan khusus untukmu, untuk cinta yang
tak pernah lelah mencintai. Semoga tiap hembus keikhlasan
senantiasa berlabuh pada nafasmu. Saat ini, masih kurasakan
senyum kesabaran yang tak urung dari bibirmu. Yang jelas aku ingin
berjumpa, mendengarkan kalimat-kalimat penguat hati, menikmati
kelembutan sikapmu.

Masihkah kau ingat, saat kau buat wajahku merah padam kala
engkau bercerita  tentang pria-pria tampan. Kau memang pandai
membuatku sedih, kemudian kau akan menghiburku dengan lelucon-
leluconmu.  Masihkah kau ingat, saat aku tersedu di depanmu,
menyesal karena aku tak setampan dan sepintar mereka. Namun
dengan enteng kau malah bilang, memangnya siapa yang
memberikan semua itu, mau protes sama Tuhan dan aku hanya
tertunduk malu.

Sebutir mutiara yang terjaga jauh lebih baik dari sekarung
emas yang kilaunya menyilaukan, begitu katamu. Lagi-lagi kau
berhasil menenangkanku. Tetaplah menjadi sosok yang sederhana,
seperti yang engkau katakan kepadaku, bahwa kesederhanaanlah
yang mengantarkan kita pada ketentraman hati. Maka tetaplah
menjadi sosok yang aku kenal, yang selalu sederhana meski dalam
kemewahan.

Maka, ijinkanlah keresahanku mengeja namamu dan akan
kukatakan kepada lidahku untuk  selalu menyebut namamu sebaik
mungkin, agar tiada lagi igauan mengusik lamunanku.  Dan untuk
kedua tanganku, ijinkanlah untuk selalu memohon kepada Sang
Pencipta, agar harimu senangtiasa riang di sana. 

Telah kumohonkan  kepada waktu untuk mengajariku
melupakanmu, tetapi tidak untuk membencimu. Telah kumohonkan
kepada harapan yang tersisa untuk menulis indah nama yang lain,
tetapi tidak untuk menghapus namamu. Bahkan,  telah kumohonkan
kepada mimpi untuk mengajariku melihat wajah yang lain, tetapi
tidak untuk melupahkan wajahmu.

Ijinkanlah aku, memangkas habis ranting-ranting yang
menjuntai ke masa lalu, agar tiada pucuk yang akan melukai hati
untuk  menggantikanmu.  Sebab dibandingkan sekarang,  aku
berusaha membelah hati hanya untuk mencairkannya menjadi aroma
lain yang tak pernah kusukai wanginya dan tak pernah kurindukan
wujudnya. Padahal sejujurnya, aku lebih menyukai hati yang saling
memiliki walau terpaut jarak dan waktu. Dan pada saatnya sua
tertunai, kita bisa saling menumpah rasa dalam peluk abadi.

Jika keluh kesahmu mendahului hadirmu, maka jangan simpan
jejakmu di  pelataran takdirku. Jika cemasmu mendahului
harapanmu, urungkanlah niatmu untuk ikut serta berlayar
bersamaku. Dan jika ketidakpercayaanmu mendahului keyakinanmu,
untuk apa lagi kita tautkan rasa ketika sepi berselimutkan gelap.
Maka pahamkanlah dirimu bahwa cinta bukan hanya seperti yang
engkau inginkan, tetapi semestinya seperti yang kita inginkan.

Jika dipengalan-penggalan waktu,  warna-warni kehidupan
menggoda imanmu atau pada bait-bait kehidupan, buaian merasuki
kesetiaanmu, maka janganlah engkau serta merta bagai daun yang
tanpa kata meninggalkan dahan. Dan janganlah engkau serta merta
bagai kayu yang tanpa kata dijadikan abu oleh api,  kecuali jika
engkau telah memilih alur hidupmu untuk riang atas takdir orang
lain yang kau porak porandakan.

Aksara ini kutulis, ketika dingin menjamah tulang  dan
kupetikkan kalimat untukmu yang kuambil dari mulut para sufi.
Jangan pernah mengharap  terlalu banyak, pada dia yang
mengatakan mencintaimu, namun ia tidak pernah menanyakan
kabarmu. Sebab boleh jadi, dia tidak menyukaimu lagi, tetapi dia
segan untuk mengatakanya.

Saya sudah mencium sinar bulan dalam gelap malam. Menari
dengan indah kepak  sayap beribu burung. Aku pernah melihat
keindahan sabana yang luas. Merasa damai dan menulis cerita itu
sendiri. Aku sudah melihat dunia dari tingginya gunung. Terasa cinta
dari air mata paling murni. Aku pernah melihat lembah penuh bunga.
Melihat ratusan kupu-kupu menari indah. Aku sudah berlayar dalam
mimpi yang sempurna. Aku pernah melihat matahari bercumbu
dengan laut. Aku sudah mencium hangatnya mentari dalam
peraduan. Aku bahkan pernah merasakan sentuhan keajaiban. Tapi
kali ini aku ingin menyentuh tangan itu. Dengan keikhlasan yang
melingkar di jari. Merasakan kedamaian dan menulis cerita itu
bersamanya. Saling berpegangan dalam indahnya kesungguhan,
bersamamu.

Semacam hujan yang malu  mengirim gerimis pada matamu.
Aku tahu itu bukan sakit, itu cinta yang lugu. Sebab menemukanku
adalah mimpimu yang ranum. Dan kita mulai menghitung
kesempatan pertemuan. Semudah senjakah menemukan malam?
atau sesulit pelangi di musim kemarau? lalu kita membuang lelah
sejenak. Semacam kuntum melati menunggui mekar, akulah  taman
itu yang sedang basah di bulan ini dan kita tak sepi lagi. Seperti
gerimis itu, percayalah bahwa aku tak pernah jauh.

Untuk hal yang demikian, tidak perlu engkau meramal
takdirmu,  tetapi pinjamlah sebuah kalimat dalam literatur yang tua
bahwa pada  hal-hal yang kecillah seorang pria melihat ketulusan
cinta seorang wanita. Dan ambillah sebuah kalimat  dan katakan,
maafkanlah kesalah-kesalah kecil perempanmu agar engkau
mendapatkan kebaikan-kebaikan besarnya.  Karena meskipun hati
mereka bagai logam yan  di tempah dingin, tetaplah mereka tidak
akan terlepas dari hakekatnya bahwa mereka terkadang untuk
dimengerti.

Sangat sulit untuk kujelaskan kepada diriku sendiri,
bagaimana mungkin engkau mencintaiku, tanpa ada rindu pada
jarak yang terbentang. Sangat  sulit untuk kumengerti,  bagaimana
mungkin engkau mencintaiku, tanpa ada pernah cemburu yang
terlintas dibibirmu.
 

Jika hadirku tak lagi menjanjikan sapa,  sudah pada
tempatnyalah, langkah tak  lagi kuayungkan.  Jika namaku tak lagi
menjadi penghias penggalan-penggalan doamu,  sudah pada
tempatnyalah, aku berdoa untuk keselamatanku sendiri.  Dan jika
engkau telah berbahagia di sana, bukan pada tempatnya aku harus
bersedih, walau itu teramat sulit untuk kujelaskan kepada diriku
sendiri.

Kalau tak mungkin lagi hujan menyejukkan hati kita,  untuk
apa aku disini. Kalau tak mungkin lagi kita bercerita tentang cinta,
maka biarkanlah aku pergi  jauh.  Untuk apa lagi mendayung rindu,
kalau dermaga tidak lagi menjanjikan sapa. Untuk apa lagi menenun
kesetiaan, kalau benan-benangnya menjuntai tanpa makna.

Dan untuk apa lagi menggantungkan asa, jika langit telah
melukis pucat wajah takdir. Agar pusara tetap bernisan, maka cerita
lain harus ditulis bersama yang lain dan di tempat yang lain juga.
Dan untuk hidup yang telah diwarnai, biarlah waktu yang
memudarkannya.

Ketika kesetiaan adalah kata yang terlantarkan makna  atau
ketika kesetiaan hanya mengumpulkan air mata yang jatuh untuk
diselipkan di ruang jiwa yang sunyi  dan  ketika kesetiaan hanya
memasung nasib terbuai pada ikrar,  lalu untuk apa kita di sini,
membiarkan takdir membusuk.

Jika kumbang kembali ke mawar yang sama, bukan karena dia
setia,  tapi satu  sayapnya tertinggal di kelopak mawar itu. Jika
belibis kembali ke muara sungai yang sama, bukan karena dia setia,
tapi  hanya untuk melihat derasnya sungai tempat dia di lahirkan.
Dan jika dia datang kesini, luka yang membusuklah yang ingin
diketahui.

Berlayarlah esok denganku  dan  bagai  tuanmu  akulah
nahkodanya. Kita arungi pekatnya takdir dan melintasi resahnya
sebuah jiwa. Sebab di sana masih ada asa yang terlantarkan badai,
masih ada dermaga yang meretas asa dan tuanmu belum lupa cara
untuk jatuh cinta. 
 

Ketika langit menggambar pucat wajah takdirmu atau ketika
semburat jingga tidak lagi mewarnai langit senjamu  dan  ketika
perihmu, hanyalah gurauan sunyi, ketika resahmu, tidak lagi seirama
dengan melodi Tuhanmu, janganlah serta merta, bagai remah-remah
yang pasrah pada angin. Sebab  semestinya, engkau adalah kaisar
bagi jiwamu dan nahkoda untuk hidupmu.  Sebagaimana laut yang
setia pada takdirnya untuk menerima apa yang dihanyutkan sungai.

Ketika cinta menjemputmu, jangan serta-merta kau
lambungkan harapanmu ke langit biru, agar engkau tidak mendapati
jantungmu luka dan berdarah. Jika cinta meninggalkanmu, jangan
serta-merta kau lusuhkan pekertimu, agar engkau tidak mendapati
dirimu menjadi permainan nasibmu sendiri.

Sebab aku dan kamu adalah jelmaan rindu yang dibingkai rasa
dalam waktu tak berkesudahan. Kita merapal masing-masing kisah
dalam benak yang terpatri. Kemudian menghunuskan sebongkah
ciuman pada bibir waktu kehidupan.  Dalam tutur nadi pencarian-
Nya, bukankah kita adalah jiwa yang dipenuhi bunga bermekaran
indah, yang tiap detak masa kita hanya mengulum manja di
peraduan.

Sebab aku dan kamu adalah bongkahan waktu yang mengiba
pada malam tak bercahaya, menyatu dalam warna rasa sejuta
keindahan. Bagai bisikan lirih hati pada wajah meronah merah,
senyum menggelayut indah di bibir manismu. Getir asmara dalam
masa yang berkilau, detik-detik meniti dalam pekatnya malam.
Sejurus kemudian, hampa di ruangan senyap tak bersenyawa, hanya
meninggalkan jejaknya dan kita menyebutnya "Kenangan".

Sebab aku dan kamu bukanlah kata yang patah atau sajak
tanpa diksi, melainkan hanya ukiran lembutnya nafas cinta dalam
mendendangkan kisah, dimana kitalah pelaku utamanya. Sejatinya
rasa dalam semerbak wanginya taman firdaus, hingga jejak dimana
akan berdiri kokoh, menambatkan hati pada semilirnya masa
berderai indah.

 
Sebab aku dan kamu akan tercipta rindu, bayang tak kasat
mata dan jiwa yang saling menautkan wajahnya pada rerupa cinta
yang membatin. Karena kita tahu hakekat cinta dan pengembaraan
masanya. Bukankah tiap waktu adalah taman bermain keindahan
rasa yang sedekitpun kita tak pernah berjumpa. Sementara kita
pahami jiwa adalah ruang-ruang batin bermekaran sempurna,
meneteskan pilu nadi kehidupan, buyarkan jejak suram, ciptakan
dunianya sendiri. Sebab aku dan kamu, seiring waktu yang berjalan.
Bingkai kesempurnaan rasa dalam mahligai cinta-Nya.

Tiada terpisah memisah kisah, hanya getiran waktu sebagai
ujian Cinta. Tiada terpenggal jarak, terhentakkan masa, kelamnya
rajutan luka, melainkan sebagai penguat rasa cinta. Tak terhunus
peluh derita jiwa, kala raga bersua tambatan hatinya. Sebab aku dan
kamu adalah jejak yang diabadikan masa, sejarah dimana rindu dan
kehangatan jiwa saling bertautan mesra, mengeja nama kita di
penghujung kisah abadi.

Seumpama titian, kau ragu akan terjatuh jika melewatinya.
Kalau-lah kau percaya, sebagaimana yakinnya aku, suatu hari kita
akan paham bahwa hatilah yang mempertemukan dan itu tak
sebanding dengan luka hari ini;

Jika mata ini engkau tunjukkan warna-warni hidayah, maka
kami akan jadi orang yang selalu bersyukur. Namun, engkau hanya
bisa memberikan kami perasa dalam dada, agar kami senantiasa
berharap. Engkau menuntun lidah kami untuk berucap, jika
kehendak-Mu bekerja dalam hidup. Engkau membuka telinga kami
untuk mendengar, jika pertolongan-Mu menunjuki jalan yang lurus.
Engkau menenangkan hati kami untuk ikhlas, jika nikmat-Mu
menggantikan musibah. Engkau mempertemukan kami dengan
belahan jiwa, jika kehendak-Mu dalam jodoh itu indah.

Demi waktu yang engkau lambatkan untuk umur kami, agar
kami bertaubat. Demi nasehat dan tausyiah yang disiarkan kepada
kami, agar kami sadar. Demi sepertiga malam ini, besok, lusa atau
dalam batas istiqomah kami, berikanlah kami curahan rahmat-Mu
untuk menjauh dari laknat-Mu dan ampuni kami dengan ampunan-
Mu, agar kami menjadi hamba-Mu yang terbaik dalam iman. 

Masihkah kau ingat bisikan cintaku, kala senja menggerogoti
waktu. Kau paksa aku memandangmu penuh puja dan memelukmu
mesra. Sadarkah kau kini, kalbuku luluh di ujung waktu, bergemuruh
nada rindu dan kuutus bersama kabut, mentari atau apapun itu, aku
jatuh tersungkur karenamu. Masih ingatkah kau, saat aku tidur di
pangkuanmu dan bercerita tentang kita, tegakkan tiang penyangga
harapan fitri akan mimpiku dan mimpimu membangun istana di
ujung cakrawala.

Masih ingatkah kau, saat aku tidur di pangkuanmu. Bibirmu
fasih melantunkan kata dan angin pun terdiam bisu, terpukau akan
kesyahduan syairmu. Apalagi aku, terlelap damai dalam peluk
mesramu. Aku ragu, kau pergi bertemankan angin pagi dan beratap
awan beriring redupnya mentari. Tetapi, aku akan tetap
menunggumu di pojokan waktu karena aku telah memujamu sampai
kau ingat lagi, saat aku tidur dipangkuanmu.

Sambil menepi, kusapa sejenak ingatan tentang cerita seusia
samak di tubuhku. Tanpamu rinai ikuti perjalanan kemanapun
jejakku melangkah lelah. Anugerah seketika datang tanpa rasa
getir, betapa mungkin dalam jangka sepekan ini. Cawanku
bersemangat sibuk melempar petir, mendorong sukmaku bertemu
pujaan hati.

Tujuh hari yang lebih indah dari seluruh masa, ketika
kubiarkan diriku lelap di belaian kekasih. Jangan lepas
keperkasaanku dari  dekapanmu, karena kuikhlas menjadi
tawananmu tanpa keluh. Mulutku selalu rakus menanti embun
beningmu, telingaku tak pernah sabar mendengar sapamu, tanganku
tak pernah kuasa henti menyentuhmu dan istana megah hidup akan
luluh lantak tanpa hadirmu.

Perih selalu kurasa ketika engkau sesaat berlalu sedangkan
hatiku selalu saja nikmat di pelukmu. Sedekat inikah perih dan
nikmat cinta bertemu, kala mendulang roman kasih indah
bersamamu. Namun, merpati putih membawa setangkai melati dan
pada tiap kelopaknya tersurat amanah perintah diri. Kembali
menekuni avatar di kehidupan yang pasti dan hanya menyisakan
luka, melepas genggaman kekasih hati. 

Namun, tak usah kau benci jarak ini, karena tanpanya, kau
tahu, cinta takkan terasa dan rindu takkan terbit. Demi rusuk yang
ku pinjamkan untukmu, tidaklah kuberharap, engkau bagai tiang
sampan yang setia bermain di deburan ombak. Bagai karang yang
setia dihantam badai dan bagai laut yang setia menerima apa yang
di hanyutkan sungai.

Jika ada yang patut kuharapakan dari sebuah rasa yang
bergelora, tidak lain adalah ajari aku untuk mencintaimu dan tuntun
aku untuk menjadi imam untukmu. Atas nama ketulusanku yang
mengibah, kumohon patrilah di hatimu  bahwa  aku bukan purnama
yang akan membiaskan kilau untukmu, karena aku hanya kunang-
kunang yang hanya mampu menghiasi gelapmu.

Aku bukan mutiara yang akan menghiasi harapan dan
takdirmu,  tapi setidaknya aku adalah serpihan mutiara retak yang
didamparkan masa lalu untukmu.  Demi rusuk yang kupinjamkan
untukmu, demi kesetiaanku yang telah kubasuh air mata dan demi
doa yang telah kupanjatkan tanpa letih, ijinkanlah sekali lagi
kubermimpi untuk tua dan mati di pelukanmu.

Ketika suatu hari tanpa sengaja aku terseret pada keindahan
runtutan kata-katanya. Masih terngiang dalam ingatanku sapa
hangatnya menembus indah hatiku dan memenuhi udara malam
yang hampa dengan jerit laraku. Ia senantiasa  mengisi setiap
gelapku, menemaniku duduk di singgasana malam berselimutkan
kabut, menenggelamkan diri jauh ke dalam relung jiwa menuju ke
dasar pusaran hidup akar gemilang semesta dan berharap
menemukan diri di ujung malam.

Dan hadirnya mampu mengalirkan keindahan dan kehangatan
serta memporak-porandakan sepi dan keheningan. Sampai akhirnya
rangkaian-rangkaian perasaan indah yang kian hari tumbuh
menggunung memenuhi rongga dadaku bermuara menjadi satu ke
dalam cinta.

Cinta telah melahirkan begitu banyak kata dan aku
merasakannya, ia datang tanpa aku minta untuk menghampiri. Ia
mengaliri jiwaku dengan titik-titik lembut tetesan segarnya. Setiap
lirih kata dari mulutnya menyiratkan kelembutan perasaan,
ketajaman fikiran yang senantiasa bergaul dengan kebijaksanaan
dan pencerahan.  Aku tidak tahu harus bagaimana lagi
membahaskannya selain bahwa bersatu dengannya adalah sebuah
rasa kebahagiaan yang purna dan bisa memadamkan kemarahan,
mendamaikan benci, menghalau kesedihan dan mengisi
kegersangan dengan bahagia  yang ia janjikan. Ia mengaliri relung
jiwaku yang kosong dengan hasrat yang terpendam lewat
ucapannya. 

Ia adalah bahasa jiwaku lewat kesendirian dikala hening
menemaniku dan dikala malam mulai menyergap dan menegur
lamunanku. Aku berharap bahwa aku adalah sekuntum bunga yang
hidup dalam tangkainya dan senantiasa bersama dengannya untuk
mengisi kehidupan ini dengan keindahan. Kita kembali berada pada
lintang dan bujur yang berbeda, di ruas usia yang tersisa, karena
hidup adalah aliran sungai yang hanya mampu mengikuti
lelikuannya, mengalir menuju kiswah muara yang tak satupun kan
mampu menyingkap rahasianya. 

Detikkan saja kerinduan itu di denyut nadi monoton acuhkan
irama, karena dendang terlalulah banyak tercipta meski hanya
berbekal tujuh  nada, ikhlaskan saja pada rembulan yang mengaliri
langit gelap bila kelat merajam lelah, namun ini jalan yang tepat
menuju fajar yang berufuk di sudut pagi.

Pada langit yang sudah tak lagi muda, aku masih saja berbalut
sepi di tengah keramaian, menyalahkan angin yang membuat daun-
daunku tergugur dan jiwaku meranggas, menyalahkan kemarau
semusim yang membuat tanah kering dan menyelusupkan
kegetirannya. Sejauh apa engkau mengepakkan sayapmu kini dan
seriang apa engkau menemani detak waktu di sana, semoga saja
hembusan angin yang berbisik disekat sunyi, masih terdengar
olehmu.

Tiang sampan tempatmu berpijak duhulu, batu karang
tempatmu mengais asa dan deburan ombak yang menemanimu
melewati hari,  adalah irama kehidupanmu juga, yang semestinya
tidak kau campakkan. Sebab  ada  kebaikan-kebaikan cinta, yang
dapat kau petik di sana.

Di masa lalumu, ada syar-syair hikmah yang dapat kau ambil
dari penggalan-penggalannya yang berlalu,  yang dapat menjadi
lentera ketika engkau menapaki gelap diseparuh hidupmu.  Dan
masa lalumu biarlah di sini, abadi di bingkai waktu. Tapi jangan
pernah dustai takdirmu bahwa engkau pernah di sini, menyulam asa
bersamaku, walau akhirnya karam.

Tidaklah kuberharap, engkau bagai karang yang setia di
hempas gelombang. Tidaklah kubermimpi, engkau bagai laut yan
setia menerima apa yang di hanyutkan sungai dan tidaklah
kumendamba, engkau bagai embun yang resah menuggu pagi. Jika
ada yang patut kuharapkan, menjadilah seperti adanya, menjadilah
seperti yang dikehendakai hatimu, agar aku tidak mencintai
pantulan diri sendiri.

Sampai kapanpun, matahari akan tetap terbit, tanpa belas
kasih pada yang mengibah dan sampai kapanpun matahari akan
tetap terbenam, tanpa iri pada yang berbahagia. Kalau demikian
adanya, untuk apa kutenggelamkan diriku di lautan kesedihan, jika
hadirku tidak lagi menjanjikan sapa.

Aku merasakan kegamanganmu berjalan sendiri menempuh
titian asa, dan aku tahu ini sungguh berat untuk dipikul tegar yang
harus ditegarkan, memang tak semudah mengeja jari, setahun, dua
tahun, menahun, menimbun.  Malam  ini kudatang sejenak
menuntaskan kerinduan benih yang baru saja membentuk akar dan
daunnya, meski meranggas pastikan merimbun lagi, namun
kekekalan adalah kerinduan  yang seharusnya ada dan semestinya
ada.

Kekasih, tak usah seduh kerinduan dengan hangat  air
matamu, simpan saja untuk penyiram akar impian, biar kemarau tak
dahagakan, pada penghujan biar meruah, menyuburlah ladang cinta
lama terbenih.

Kekasih, sejenak itu takkan lama, meski tuntas nanti kan
bertunas pula, rawatlah aku dalam bingkai rindumu,  ketika jauh
inginkan dekat, penguat satu kian menyatu, karena memang tak
mudah untuk merindu  dan biarkan saja lewat rinai keheningan itu
untuk kumelukiskannya.

Embun menetes menabuh dedaunan,  seiring lengking lirih
bahasa batin tak terderukan, hanya kekecewaan membiak di ladang
kosong, sedang berjuta benih selalu kau tanam.  Kemana hendak
menjemur, sedang bayang tak sepenuh badan. Haruskah berlari,
sedang tepian hanya jurang tak bertitian. Hidup tengah bernaung di
sekapan pedang mengancam urat nyawa, meski menangis, genang
takkan cukup memandikan lumpur penindasan.

Dan guliran waktu pun kian menguatkan akar kejenuhan.
Sedangkan di julangan batang kian luas untuk memandang dan
sesak dedaunan  tutupi kehangatan walau kebekuan seakan takkan
lagi mampu ditakik perasaan. sempurna berbuta nurani, menyusun
kelam, yang ada hanya makian pada telisik kebeningan yang
diciptakan, tak berarti, tak berharga diri dan tampungan seakan titik
yang menggumpal bagi matahati kering.

Namun aku yakin pada bingkaian teguh ketulusan, tak ada
yang percuma, seperti sia-sia yang tak pernah lekat untuk
rerumputan kering di pinggir jalanan, selagi tak hampa celah batu
karang pasti menumbuhkan. Tak usah berhenti, tak usah meragu,
keringat mengalir adalah siraman subur tanam keikhlasan dan
hentikan perhitungan, karena ini bukan aljabar dalam rujuk
perumusan.

Hanya darimu milikmu dan pasti padanya yang darinya, jalan
seribu rahasia semesta menentukan, untuk apa menumpuk bila kan
membusuk, biar saja mengalir untuk berakhir, bukankah tujuh
tangkai kan seratus biji.  Buka saja pintunya, singkap terus
jendelanya, semilir tak berufukkan memasukinya, usah gamang dan
kecewa, panjatkan saja doa keselamatan bagi kesesatan, karena
Tuhan punya cara untuk menyeimbangkan.

Sepertinya seruak rindu ini mulai menggebu dan tak ada yang
mampu menahan tiap butir kasih-Nya. Nyata dalam pangkuanmu
dengan  untaian mutiara tasbih tergerai syahdu.  Jika engkau
merindukanku, pintalah Sang Maha memurahkan doa agar ia
menghinggapi hatimu dikerinduan pasti sebagai perantara Ilahi
untukku.

Di antara malam kulewati dan ada satu malam syahdu
menerangi  kecupan-kecupan dingin tak henti. Namun, kehangatan
rindu menyekap diri dihadapan Ilahi. Biarlah malam ini, satu malam
merengkuh rasa, tergerai, teruntuknya sosok seberang yang sedang
menyelami hati.  Mungkin, kita perlu mengetahui tentang perihal
percakapan ombak yang paling purba dan berbicara tentang cinta
sedang pusarannya tak sampai padamu. Padahal kau selipkan rindu
pada kesiur angin yang paling gigil di kala purnama,  berharap aku
masih baik-baik saja bergelut dengan tubuh-tubuh samudera.

Ada yang tak kau mengerti dari bahasa laut, tentang perihal
seberapa erat jemari air bersidekap dengan gelombang saat badai
tiba. Sejatinya di tubuh-tubuh samudera yang dijamahi badai
kutemukan bayangmu tengah menjenguk semacam tunggu yang
tiada pernah ada batasnya.

Ada yang tak kuceritakan padamu perihal bahasa laut, tentang
kesabaran angin melahirkan badai, lalu keluhuran badai mencintai
ombak, hingga kesetiaan ombak menikahi  samudera. Hakikatnya
inilah sebenar cinta yang belum sempat terucap untukmu, maka
bersabarlah dalam tunggumu hingga aku tiba.

Senja, mengukir langkahku diantara rintik hujan dan kususuri
rindu tak berkesudahan. Sebuah perjalanan, sebuah kenangan,
sebuah rindu, bergumul dalam hatiku. Masih jelas kuingat, kau ulur
tanganmu, kau genggam jemariku dan di bawah payung warna biru,
senyummu menyambut hadirku. Rasanya, ingin sekali kupeluk,
kutumpahkan segala rindu, dalam pangkuan kasih sayangmu.

Kelam malam, membuatku terdiam menahan gemuruh yang
mengguncang dalam dada. Ingin kubuang saja hati ini, agar tiada
kurasakan nyeri yang menyayat begitu perih selama ini. Hitam
rambutmu tergerai, sesekali melambai dipermainkan angin.

Langit mengelam dan gulungan awan kian  hitam. Sekilas,
kulihat wajahmu begitu sayu. Seolah belum puas hatimu, untuk
menghabiskan waktu bersamaku. Sekali lagi, malam menyekapku
dalam gemuruh rasa. Menyaksikanmu dalam pelukan cintanya,
mengukir luka tiada tara. Membakar hati yang tak mau mati.

Kemana kau selama ini, bidadari yang kunanti. Mengapa baru
sekarang kita dipertemukan. Tanpa kuduga, kau terduduk di
pembaringanku. Dengan alasan untuk memberiku selimut, kau
bangunkan aku. Sepasang mata indahmu, lekat menatapku,
memendarkan cahaya yang terpancar dari hatimu. Sekejap
kemudian, kau menghambur memelukku. 

Jangan larang aku, entah kapan lagi kumampu memelukmu.
Sekali ini saja, ijinkan aku, merasakan peluk kasih sayangmu. Esok,
kau kan pergi dan mungkin, ucapmu, lirih bagai elegi. Sungguh, aku
tak kuasa menolak dan kupeluk erat hingga jelas kurasakan
degupan di jantungmu. Sekali ini, tiada mampu kutahan lagi, air
mata mengalir basahi pipi.

Cinta, terima kasih atas segalanya, meski semua itu,
menjadikanku sang pendosa. Kan kusimpan di hati,  sebagai dosa
terindah. Sesal takkan ada arti, karena semua telah terjadi. Kini kau
telah menjalani, sisa hidup dengannya. Walaupun terlambat, kau
tetap yang terhebat. Melihatmu, mendengarmu, kaulah yang tetap
terhebat.
 
Semestinya kita seperti embun, meninggalkan tanpa
melupakan, memberikan kesejukan hati, menyisakan kenangan
tanpa pernah merasa kehilangan. Seperti mentari yang selalu setia
menyinari walaupun terkadang mendung selalu menutupi
senyumnya. Itulah jiwa yang tak pernah lelah menabur kebaikan dan
senyuman di setiap ruang kehidupan.

Pagi diantara gemercik embun pada titik bening daun yang
menyegarkan, kudekap dinginnya cahaya emas diufuk timur.
Remangmu menyuguhkan netra yang tak bisa kuungkap lewat
aksana.

Seindah jingga, berlari memeluk senja tersambut malam
bernoktah putih. Sampai kini, apa yang kudekap masih sama,
bagaikan senja yang setia menanti fajar. Benar kata orang,
datangnya hujan selalu mengobati rindu bumi. Dengan jutaan
rintiknya yang memeluk tanah, senja jingga menghibur penantianku.

Berhiaskan pelangi layu menemani, nyatanya hujan tak
kunjung datang. Namun ku tetap yakin, Allah Maha Adil
merahasiakan sebongkah rasa untuk kita. Betapa Berharganya cinta
dan untuk itulah kita berterima kasih kepada Tuhan Sang Pemilik
cinta  yang telah menuntun jiwa untuk tetap tegar seperti gunung
dan kokoh seperti karang. Mengajarkan kita, bagaimana bertahan
ketika harus dihempas kerasnya tamparan ombak dengan riak
gelombangnya.

Sekadar ikhlas memperjuangkan hidup dalam kesederhanaan,
terlenterailah kami untuk menyusun sepenggal kata menjadi cerita.
Berlebihan jika kami sebut ini cerita yang bagus, sebab
meradangnya hati mengaburkan pengetahuan kami untuk meletakan
dimana tanda bacanya.  Meski tak sempurna, sejatinya, ini adalah
sekelumit kisah atas peliknya kehidupan. Saat semua tak bisa kami
bicarakan, maka menulis adalah jalan terakhir yang masih mungkin
menenangkan hati kami.

Ambilah baiknya, abaikan buruknya, dan kabarkan kepada
kami kekuranganya, melalui doa. Agar Tuhan Yang Maha Bijaksana
menyentuh hati kami untuk terus belajar. Merangkai kata, membaca
tanda-tanda, agar tak lepas kata dari maknanya. Maka, kupinang
kemegahan cinta Sang Pencipta cinta dalam hikmatmu. Kusisihkan
belia cinta kasih Tuhan disudut mahkamah penguasa hati para
pecinta cinta,  teruntuk syair-syair nan terbata membingkai makna
keselarasan. Kuhela nafas bunga-bunga pemikat aksara dalam
kekhusyukan do'a-do'a malaikat pemerhati hati jiwa-jiwa cinta.

Dan kubiarkan pangku tangan tetap terpanjat pada-Nya untuk
keridhoan dalam merindukanmu, dari ketiadaan wujud merengkuh
asamu. Sebab, derai air mataku disetiap sujud, seakan tak pernah
cukup untuk menjagamu. Semoga Allah berikan aku umur panjang
agar aku bisa menemanimu sampai akhir.

Jika aku dapat menulis puisi-puisi cinta, akan kutulis seperti
yang dikehendaki takdirmu, semoga aku dan harapanku dapat
menjemputmu. Jika aku dapat memberi roh pada aksara-aksaraku,
akan kujelmakan diriku menjadi huruf-hurufmya, semoga aku dapat
membimbingmu untuk menemani separuh takdirku yang tersisah.

Kutuangkan dengan sebentuk kata, sebentuk cinta, cintaku
yang terpendam pada-Nya. Jujur, kadang aku malu mengatakan
bahwa aku benar-benar mencintai-Nya. Tapi Dia selalu menunjukkan
jalan padaku untuk terus melafazkannya. Sebab cinta selain terletak
di hati, juga wajib diucap, diikrar dan diazzamkan. Aku berharap,
cintaku pada-Nya takkan ada tandingan. Yang terpenting adalah
ketulusannya. Seperti ketulusanku mencintainya kelak. Entah siapa
dia ?

Pagi membangunkanku lewat kicauan alam, menyibak mentari
yang menyapa dari mimpi tentangmu semalam. Ketika angan lebur
dalam meniti perjalanan kita, ketika gaung rindu bergema tanpa
suara dan ketika hasrat terbelenggu dalam ruang tanpa jiwa.
Kemarin kau tabur ceria dari gulir hari yang kulewati. Kemarin ada
belai mesra dari senyum indah yang kerap menyapa. Apakah
semuanya hanya fatamorgana, semu tanpa rasa ?
 
Ke mana semua itu, ke mana kan kucari jejak bisu, padahal
aku tergugu di sini, menanti harap yang tak pasti. Aku tau kau ada
dan selalu ada di sana. Menatapku dalam diammu, mengikuti dalam
bayang, namun begitu pengecut untuk satu sapa terlantun. Larik-
larik sajak yang tertuang dan syair-syair yang tercipta itu juga
milikku darimu. Aku tak ingin mengganggumu dengan keluh kesah
ini, lanjutkan inginmu apapun itu. Namun satu harapku, kembalikan
ceriaku saat sebelum kau rengkuh hatiku. Hanya itu, dan tulisan ini
abaikan saja, saat satu hari merpati membawanya padamu dariku
yang selalu merindukanmu.

Jika mencintai adalah anugerah, maka berikanlah kami
anugerah iman yang kekal padamu karna hanya Engkau yang dapat
menjaga kasih, sayang dan cinta kami hingga pada waktu yang telah
Engkau tentukan. Aku tak pernah tahu apa yang aku rasakan, tapi
aku selalu mengerti akan bagian yang hilang saat aku jauh darimu.

Kau adalah nyayian di musim gugur, mengalun bersama syair
pada kemarau di waktu kelam.  Tak seharusnya terlantun kala itu,
namun bayang menari dengan nada hening di waktu dingin. Seperti
kata tanpa terucap, seulas senyum mengecap indah dengan
kebahagiaan sebuah tanya.

Sanggupkah engkau untuk melepas gamang yang terngiang
dan mampukah engkau untuk menari dengan nada hening kala
mengalun dalam sebuah angan tanpa nyata.  Padahal, tiada jiwa
tersesat tanpa rasa yang pekat nan melekat pada waktu ia
mengalun dengan bisik-bisik tak terusik. Menjerit bagai senyum,
bersorak seperti diam. Dalam keheningan sebuah nyanyian, ialah
nyanyian nada heningku.

Terdengar dari sebuah degub jantung, berdetak penuh gertak,
seiring detik yang terus menggelitik kala hening menggigil  oleh
rintik yang menyuntik. Kamulah suara tanpa bisik, mengalun tanpa
sebuah syair yang terlantun, namun keheningan bukanlah alasan
kenapa kita harus tertegun. Tetapi bagaimana awal yang indah
dapat tersusun.

Pada singgasana sebuah istana rasa, telah membuncah jemari
menorehkan asa. Ayunan langkah petikan nada ia sendu menyapa di
kesyahduan malam. Bisik itu mengusik kisaran rasa dibalik
samarnya terang dahaga lentera.  Sementara,  aku asyik menanak
tabah diluasnya tasik yang menghiba.  Dan Aku terpaku pada
keheningannya, sesaat diam namun hati bergeliat menanti akan
sebuah sapa. Untaian nada yang dinanti takkan terhenti oleh jemari,
hingga semua mendengar rintihan suara hati pergi dan terganti oleh
bisik sang bidadari mimpi.  Kebenaran ada di tangan orang-orang
yang jujur, tapi hanya Tuhan yang berhak menentukan kapan
kebenaran itu bisa terungkap. Aku ingin menghuni sebentuk bibir
indahmu, mendiami rekahnya yang kuyakin begitu sabar
mengalunkan ayat-ayat ilahi dengan begitu syahdu. Lalu kau
wujudkan adaku dalam santun tutur, meneduhkan setiap jiwa yang
mengapai-gapai rindu.

Perempuan berwajah cahaya, selipkan aku pada sela-sela
jilbabmu, agar hanya aku yang mampu menyibak anggun rambutmu
yang engkau seka ketika berwudhu. Lalu turutlah aku dalam sujud
cintamu ketika bermohon jodoh terbaik bagimu.  Perempuan
berwajah cahaya, sungguh segala padamu ialah terindah. Matamu
yang merupa tatap sayu, bibir merah delimamu yang begitu ranum
bagiku, hingga alis matamu yang tiba-tiba mewujud seratus untai biji
tasbih dalam ikhtiarku untuk mempersuntingmu.

Aku tahu, menyusur purnama di wajahmu ialah perjalanan
seumur hidupku, namun aku tetap meneguh yakin di relung kalbu,
bahwa tertuju pada purnama di wajahmu akan menjadikanku
kembara kasih yang dinaungi dzikir-dzikir cinta syahdu, hingga
sampailah aku padamu lalu kukecup keningmu di depan penghulu,
sembari berujar: terimakasih telah berkenan menjadi kekasih
halalku. 

Katakan padaku tentang kehilangan, apakah ia serupa dengan
sebatang penyesalan yang mengakar dan meranting daun-daun
kesedihan di puncaknya. Ceritakan juga padaku tentang penyesalan,
samakah ia dengan arus kekecewaan yang melewati ambang,
sehingga meluapkan kepedihan sampai ke hilir dan membanjirinya
dengan kubangan lumpur nestapa. 

Saat Tuhan mengharuskanku untuk  mengikhlaskan
kepergianmu, saat itu pula kau harus mengerti betapa sulitnya tuk
menghapus bayangmu. Sebab, kesalahan atas kebodohanku ini
takkan pernah bisa terlupa, saat aku salah menilai arti senyuman,
yang aku anggap cinta sempurna namun hampa pada nyata.

Memang tak seharusnya untuk aku ungkapkan, meski jiwa tak
dapat lagi menahan rasa ingin memilikimu yang tak pernah
menginginkanku. Dan kini, aku hanya bisa tersadar, betapa pahitnya
kehidupanku saat aku melihat kebahagiaan yang dimilikinya
untukmu. Kau  dapatkan semua yang kau inginkan, tinggallah
senyumanmu kini bersamaku yang selalu bahagia melihatmu
bahagia bersamanya.

Terlalu lama rasa ini memasungku dan membebani jiwa
dengan pilu. Merangkak melewati hari dan sendiku pun serasa mati.
Kemana akan kuadukan pilu, sedangkan seluruh semesta sepertinya
sudah tak sudi untuk menatap, karena telah menyia-nyiakan seorang
mahluk Tuhan yang telah dikirimkan padaku.

Rindu, mengapa sulit bagiku untuk bisa berdamai denganmu.
Bisakah sedetik saja kau tak hadir dan  membebaskan jiwaku.
Biarkan kunikmati indah dan syahdunya malam tanpa beban.
Kuingin sejenak menari di desahan angin yang membelai sudut
kotamu yang indah. Menikmati gemerlap kelap-kelip cahaya lampu
yang berpendar dan menerangi seluruh sudut kotamu.

Titik demi titik telah basahi kotaku dan apakah kau juga bisa
membasahi rindu yang meredam di hatiku. Untuk rinduku yang di
sana, ketahuilah bersama hujan ini kubercerita, semoga kita melihat
hujan yang sama dan mengerti tentang cerita rinduku bersamamu.

Terkadang aku menangis di bawah rinai hujan dan berharap
kau datang mengulurkan payung kehangatan. Namun, hingga kuyup
ragaku, tak jua kutemukan jejakmu. Malaikatku, seandainya satu
sayapmu telah patah, ijinkan ia tergantikan dengan milikku. Dan
lukamu, biarkan diriku menjadi pengobatnya.
 
Jika dulu akan ada jemari yang mengusap kedua mata saat
mereka mulai menghangat, kali ini tak ada yang menahan air mata
agar tidak tumpah. Jika dulu ada segurat senyum yang meneduhkan
hati saat hati ketar-ketir, kali ini  aku harus menunggu bulan sabit
setiap malam dengan sinarnya yang redup. Jika dulu akan ada
sepasang mata dengan sinar yang cerah menghiburku, kali ini aku
harus menengadah menatap bintang di langit untuk dapatkan sinar
yang sama. Ke mana bulan yang selama  ini menemaniku dengan
sinarnya yang begitu tajam, seolah ingin tersenyum melihat
kebahagianku bersamamu.

Berlatar rembulan senja, kutitipkan seutas rindu untukmu
wahai gadis bermata elang. Bersama sang bayu dan tetesan air
mata, kusematkan untaian nada  kasih untukmu. Apakah aku salah
memberikan cinta, meski ku tahu kau adalah bintang yang jauh dari
gapai rumput liar ini. Tapi, sampai kapan aku harus berdiri menanti,
mengejar embun diteriknya mentari. Mungkin saja, aku terlalu rapuh
untuk mencintai, bahwa  sakitnya mencintai tanpa dicintai itu
menghancurkan relung sukma.

Kutulis kisah di atas kertas yang putih, seputih cinta yang
telah tersimpan di hati. Mula cinta bersemi asri, harum mewangi
mengasihi, sewarna pelangi indah mewarni nan manis menghiasi
nurani. Pasti aku akan merasa jadi insan paling bahagia, andai kisah
kasih tiada berakhir. Namun laksana awan menjadi cintaku,
nyatalah tak dapat digenggam. Semerawang cintamu melayang dan
paduan kita telah usai, ditelan suratan.  Kini tinggal aku sendiri
berteman sepi, dengan harapan dan  mimpi yang hanya tercurah
kepadamu bahwa tak mudah untuk aku akhiri. Karena setiap detik,
bayangmu selalu menghampiri. Padahal bersamamu sampai matilah
yang kuhajati. Namun ternyata Tuhan tak menghendaki dan mungkin
sudah takdir kisah kita untuk berakhir.

Meski hanya dirimu yang menjadi hakikat cintaku, namun
percintaan kita tinggal kenangan. Aku sadari, tak mungkin lagi
kumengharapkan cinta silam agar terulang. Aku mengerti, tak
mungkin juga dirimu kudambakan untuk bersama di masa datang.
Karena kau telah menjadi milik orang.

Hanya do'a yang kini bisa kupersembahkan untukmu. Selamat
menjalani kisah baru dan semoga engkau tetap bahagia tanpa aku.
Meski awal berjumpa dan akhir berpisah, tapi cinta tetaplah cinta.
Dahulu cinta, sekarang cinta, hingga akhirpun cinta. Dan selamanya
kau akan tetap kucinta.

Dan pada akhir episode ini, tak ada lagi yang bisa kutulis
karena kata hujan tetaplah hujan. Dan kau telah mengambil terlalu
banyak kisah yang tak bisa disampaikan kemarau pada musim
setelahnya. Sedangkan hujan yang menutup bab-bab tentang kita
adalah air mata yang kuambil dari tiap-tiap ingatanku tentang
dirimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar