Dalam buku The Art of Loving, atau Seni Mencinta, Erich Fromm menulis bahwa
para manusia modern sesungguhnya adalah orang-orang yang menderita. Penderitaan
tersebut diakibatkan karena kehausan mereka untuk dicintai oleh orang lain.
Mereka berusaha keras melakukan apa saja agar dapat dicintai. Anak-anak muda
akhirnya terjerumus ke dalam pergaulan bebas karena mereka ingin dicintai dan
diterima oleh kawan-kawan sebayanya. Para istri berjuang untuk menguruskan
tubuh mereka agar dicintai oleh para suami mereka. Para politisi tidak
segan-segan berdusta dan menipu orang agar dicintai oleh para pemilih dan
pengikut mereka.
Yang dilakukan oleh manusia modern adalah
upaya untuk dicintai, bukannya upaya untuk mencintai. Dalam dunia modern, kita
menemukan bahwa semakin keras manusia berusaha untuk dicintai, semakin sering
pula mereka gagal dan dikecewakan. Adalah sangat sulit untuk memperoleh
kecintaan seluruh manusia. Kecintaan semacam ini adalah tujuan yang takkan
pernah bisa dicapai karena selalu saja ada orang yang membenci orang yang lain.
Manusia selalu dikelilingi oleh dua jenis orang; yang mencintai dan yang
membenci dirinya.
Oleh sebab itu, manusia modern mengalami
gangguan psikologis karena kegagalan untuk dicintai. Buku The Art of Loving mengisahkan
para istri yang akhirnya harus mengisi malam-malam mereka dengan tangisan dan
penderitaan karena tak kunjung memperoleh cinta suami mereka. Pada satu bagian
dalam buku itu, Fromm menulis: "Mungkin sudah waktunya kita beritahu mereka
untuk belajar mencintai."
Hal ini mengingatkan saya akan buku lain
yang berjudul The Mismeasures of Women,
atau Kesalah-ukuran Perempuan. Buku ini bercerita bahwa sepanjang sejarah,
kecantikan wanita itu diukur bukan oleh wanita itu sendiri, melainkan oleh kaum
lelaki. Pernah pada satu masa, yang disebut sebagai wanita jelita adalah
perempuan yang bertubuh gemuk. Lukisan-lukisan di zaman Renaissans
menggambarkan wanita-wanita telanjang dengan berbagai gumpalan lemak di tubuh
mereka.
Pada zaman itu, perempuan berusaha menggemukkan
tubuhnya dengan obat-obatan, yang terkadang amat berbahaya, agar dianggap
rupawan dan dicintai lawan jenisnya. Lalu datanglah satu masa ketika seorang
perempuan disebut cantik bila tubuhnya kurus kering. Dunia kecantikan
internasional pernah mengenal seorang model ternama yang disebut dengan Miss
Twiggy, Nona Ranting. Perempuan cantik adalah mereka yang bertubuh seperti
ranting kayu, tinggi dan langsing. Seluruh perempuan di dunia kemudian
berlomba-lomba menguruskan tubuhnya dengan menahan nafsu makan dan melaparkan
diri. Mereka melakukan puasa yang khusus dijalankan untuk memperoleh kecintaan
lelaki; mereka menyebutnya diet.
Jika target kita dalam hidup ialah untuk
memperoleh kecintaan sesama manusia, kita akan selalu menemui kekecewaan. Hal
ini disebabkan karena kecintaan makhluk itu bersifat sangat sementara atau
temporer. Dalam Manthiq Al-Thayr, atau Musyawarah Para Burung,
Fariduddin Attar berkisah tentang kelompok para burung yang tengah mencari imam
mereka. Burung-burung itu memilih Hudhud sebagai pemimpin karena ia dianggap
burung yang paling kaya akan pengalaman. Hudhudlah yang menjadi penyampai pesan
dari Nabi Sulaiman kepada Ratu Bilqis dan Hudhud pulalah yang menjadi utusan
Nabi Nuh untuk mencari sebidang daratan kering ketika sebagian dunia yang lain
dilanda air bah.
Meskipun seluruh burung meminta Hudhud
menjadi pemimpin mereka, Hudhud tetap berkeberatan. Ia malah berkata,
"Sesungguhnya pemimpin kalian berada di Bukit Kaf, namanya Simurgh. Ke
sanalah kalian pergi menuju." Hudhud lalu menggambarkan keindahan Simurgh
sedemikian rupa sehingga para burung yang lain jatuh cinta.
Para burung pun memohon agar Hudhud mau
mengantarkan mereka ke hadapan Simurgh. Namun sebelum mengajak mereka ikut
serta, Hudhud terlebih dahulu menceritakan beratnya perjalanan yang harus
ditempuh untuk menuju Simurgh. Setelah mendengar betapa sukarnya jalan yang
akan dilalui, sebagian besar burung mengurungkan niatnya. Burung Bulbul
mengajukan keberatannya, "Aku mencintai Simurgh dan ingin menjumpainya,
namun sekarang ini cintaku telah terpatri kepada setangkai bunga mawar. Jika
kupikirkan tentang kelopak mawar yang merekah, kurasa aku tak perlu lagi
berpikir akan Simurgh. Cukuplah bagiku keindahan mawar itu. Kuyakin sepenuhnya
mawar itu akan selalu megembangkan putik-putik sarinya karena kecintaannya jua
kepadaku. Aku tak bisa hidup bila harus meninggalkannya. Aku tak mau hidup bila
tak dapat lagi memandang rekahan mawar itu."
Lalu Hudhud berkata, "Ketahuilah,
kecintaan kamu terhadap mawar itu adalah kecintaan yang palsu. Janganlah engkau
terpesona akan keindahan lahiriah. Mawar hanya merekah di musim semi. Begitu
tiba musim gugur, mawar akan menggugurkan kelopaknya. Ia akan menertawakan
cintamu."
Melalui kisah ini, Fariduddin Attar
mengajarkan bahwa sesungguhnya kecintaan makhluk itu adalah sementara. Seorang
istri, yang berusaha keras untuk meraih cinta suaminya, akhirnya akan menemukan
bahwa cinta suaminya itu datang dan pergi. Suaminya tak mencintai ia untuk
sepanjang masa. Ada masa ketika cinta suaminya berkurang atau bahkan hilang
sama sekali. Demikian pula sebaliknya, seorang suami tak akan memperoleh cinta
yang kekal dari istrinya. Kecintaan manusia takkan pernah ada yang abadi.
Beberapa waktu yang lalu, seorang pemirsa
televisi pernah mengirim surat kepada saya menyatakan ketersinggungannya atas
ceramah saya mengenai takabur dalam sebuah acara televisi. Di dalam suratnya,
ia menulis, "Bapak adalah mubaligh yang amat saya cintai. Namun saya
kecewa ketika mendengar ceramah Bapak beberapa waktu lalu. Ketika itu juga
seluruh cinta saya terhadap Bapak sirna." Itulah yang dinamakan dengan
cinta yang sementara.
Seorang mubaligh tidak boleh berceramah
untuk mencari kecintaan jemaahnya. Tuhan akan menguji para mubaligh dengan
menarik kecintaan dari para jemaahnya. Bila kita amati kehidupan para imam
ahlul bait as, kita pun akan menemukan bahwa pada umumnya mereka dikhianati
oleh para pengikutnya sendiri. Imam Ali kw dibunuh oleh seorang khawarij yang
semula merupakan jemaahnya; Imam Hasan as dikhianati oleh para pengikutnya
sendiri; dan Imam Husain as dibunuh oleh salah seorang yang sebelumnya
mengirimkan surat berisi dukungan kepadanya.
Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, saya
pernah dicekal untuk berceramah di beberapa masjid di Bandung. Seorang dai
kemudian menasihati saya, "Menjadi mubaligh itu seperti supir angkutan
kota. Ia harus tunduk kepada kemauan penumpangnya. Bila penumpang ingin
diturunkan, meskipun di tempat yang terlarang, ia mesti menghentikan
kendaraannya. Bila mubaligh hanya menuruti kehendaknya sendiri, "angkutan
kota"-nya tak akan pernah memperoleh penumpang." Saya tidak setuju
akan pendapatnya dan berkata kepada dai itu, "Bagi saya adalah lebih
terhormat untuk memiliki kendaraan pribadi yang dapat saya kemudikan kehendak
hati saya ketimbang mengemudikan angkutan umum. Saya tidak peduli apakah saya
punya penumpang atau tidak."
Menurut Erich Fromm, para mubaligh pun
adalah manusia-manusia modern yang tertipu. Mereka berusaha keras mencari
kecintaan dari sesama manusia. Boleh jadi, mereka berhasil mendapatkan cinta
tersebut. Tetapi keberhasilan itu hanyalah sementara. Dalam khazanah tabligh
Indonesia, selalu ada mubaligh populer yang muncul ke permukaan dan memperoleh
cinta dari jutaan umat. Namun sedikit demi sedikit, ia akan tenggelam dan
ditinggalkan oleh umatnya. Kita tak akan pernah bisa dicintai secara terus
menerus oleh sesama manusia.
Demikian pula halnya dengan para artis;
mereka berusaha untuk mendapatkan cinta fans mereka. Mereka mengatur tingkah
laku dan penampilan agar sesuai dengan selera pasar. Tetapi pada akhirnya,
mereka pun akan mendapatkan kekecewaan yang mendalam ketika para fans beralih
untuk mencintai artis lain yang lebih muda dan lebih cantik. Penderitaan
manusia modern diakibatkan oleh keinginan untuk dicintai sesama manusia.
Akibatnya, kita akan dirundung oleh kekecewaan demi kekecewaan.
Sebagaimana dikatakan oleh Fromm, yang
bisa dilakukan untuk menyembuhkan penyakit itu adalah dengan belajar mencintai.
Kebahagiaan hidup kita tergantung kepada apa yang kita cintai. Kebahagiaan tak
dapat diperoleh dengan dicintai. Akan tetapi di dalam wacana pengetahuan
modern, kita menemukan sedikit sekali ada literatur yang berisi pelajaran untuk
mencintai. Buku-buku mutakhir mengajarkan kita akan kiat-kiat untuk dicintai.
Datanglah ke sebuah toko buku, Anda akan menemukan banyak sekali buku yang
ditulis yang berisi tentang kiat-kiat agar dicintai oleh lawan jenis, atasan,
atau rekan-rekan di tempat kerja.
Selama ini kita diajari bahwa proses
mencintai itu bukanlah proses pembelajaran, melainkan proses "kecelakaan".
Kita mengenal istilah "jatuh cinta" atau fall in love, bukannya "belajar mencinta" atau learn to love. Disebut "jatuh"
karena kita menganggap mencintai sebagai suatu kecelakaan yang tidak
direncanakan sebelumnya.
Untuk mampu mencintai, kita harus mulai
belajar dari mencintai makhluk Allah; dengan mencintai pasangan kita, anak-anak
kita, ataupun kendaraan kita. Itulah pelajaran mencintai tahap dasar, pelajaran
cinta dalam tingkatan yang paling awal. Cinta semacam itu adalah cinta yang
dimiliki oleh anak-anak kecil. Mereka selalu mencintai hal-hal yang bersifat
kongkrit atau lahiriah.
Kita harus mengembangkan kepribadian kita
ke tingkat yang lebih baik agar kita tak hanya terjebak untuk mencintai hal-hal
yang kongkrit saja. Di saat itulah kita dapat menempuh pelajaran yang lebih
tinggi.
Selanjutnya kita harus berusaha untuk
mencintai hal-hal yang lebih abstrak. Sebuah hadis yang amat kita kenal
meriwayatkan sabda Nabi Muhammad saw, "Cintailah Allah atas segala
anugerah-Nya kepadamu, cintailah aku atas kecintaan Allah kepadaku, dan
cintailah keluargaku atas kecintaanku kepada mereka." Dalam hadis ini
Rasulullah saw menurunkan tiga kecintaan; kepada Allah swt, Rasulullah swt, dan
ahlul bait Nabi. Rasulullah saw juga ingin mengajarkan kepada kita untuk meninggalkan
kecintaan kepada hal-hal kongkrit dan menuju kecintaan kepaa hal yang abstrak.
Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali
menyatakan adalah sebuah kebohongan besar bila seseorang mencintai sesuatu
tetapi ia tidak memiliki kecintaan kepada sesuatu yang lain yang berkaitan
dengannya. Al-Ghazali menulis; "Bohonglah orang yang mengaku mencintai
Allah swt. tetapi ia tidak mencintai Rasul-Nya; bohonglah orang yang mengaku
mencintai Rasul-Nya tetapi ia tidak mencintai kaum fuqara dan masakin; dan
bohonglah orang yang mengaku mencintai surga tetapi ia tidak mau menaati Allah
swt." Semua itu pada hakikatnya
mengajarkan kita untuk mencintai hal-hal yang bersifat abstrak.
Nilai tasawuf yang paling penting adalah
kecintaan kepada Allah swt. Mulailah kita belajar mencintai Allah dengan
mencintai Rasul-Nya dan belajar mencintai Rasul-Nya dengan mencintai ahlul bait
Nabi. Bila kita ingin berhasil mencintai ahlul bait Nabi, belajarlah dengan mencintai
kaum fuqara dan masakin.
Jika kita telah mampu belajar mencintai
Allah swt, Rasul-Nya, ahlul bait, serta kaum fuqara dan masakin, maka hal itu
telah cukup menjadi bekal bagi kita, dibandingkan dengan seluruh dunia dan
segala isinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar