Minggu, 30 November 2014
Akulah Anak Nelayan
Banyak
orang berkata bahwa hidup adalah sebuah pilihan, dan setiap orang berhak
memilih arah hidupnya masing-masing. Begitu pun ayahku, juga punya pilihan.
Aku
adalah anak laki-laki yang terlahir dari keluarga kecil dari sebuah pulau kecil
di ujung selatan Kabupaten Kepulauan Selayar. Aku adalah anak dari seorang ayah
yang bekerja sebagai nelayan kecil. Dan sejak kecil, aku sudah terbiasa ikut
ayah melaut dengan memakai sebuah sampan kecil dan tua.
Pekerjaan
sebagai nelayan mungkin menurut sebagian orang cukup melelahkan, dan akan
sangat melelahkan bagi mereka yang tak pernah tahu. Namun, bagi aku yang
berasal dari keluarga nelayan, yang sedari kecil terbiasa dengan semua itu,
tentu bukanlah pekerjaan yang melelahkan.
Aku
percaya bahwa itulah jalan Tuhan yang diberikan pada keluargaku, dan aku selalu
bersyukur atas semua itu. Aku yakin bahwa nelayan punya peranan penting dalam
kehidupan ini. Sebab tanpa nelayan, bagaimana kita semua, bisa menikmati
lezatnya ikan dan makanan-makanan laut lainnya.
Kadang,
saat
semua orang terlelap tidur dalam dekapan dinginnya malam, ayahku malah bangun
dan menyiapkan perlengkapan untuk melaut hanya karena ia melihat, kalau cuaca
sangat mendukung untuk menangkap ikan. Bahkan aku pun tak pernah terbangun dan
melihat ayah pergi melaut di tengah malam.
Dengan keriput yang sudah mulai tampak
dalam raut wajah yang selalu menjadi pahlawanku itu, terkadang membuatku ingin
menangis atas kehidupan pahit yang Tuhan berikan pada keluargaku. Melihat
kehidupan orang kaya yang serba berkecukupan dan tiap harinya hanya duduk di
atas kursi mewah bak tempat duduk sang raja, terkadang aku berpikiran sendiri
sembari berkata, begitu tak adilnya Tuhan yang katanya Maha Pemberi,
sampai-sampai keluargaku yang tercipta dengan kata miskin, harus bekerja lagi
dengan mengarungi ombak yang tiap saat bisa mengambil nyawa ayahku di lautan
sana.
Ayahku bahkan tak pernah mengeluh walau
sudah kelelahan, dan terkadang hanya sakit yang tak bisa lagi ditahannya
membuat dirinya sejenak beristirahat. Aku pernah bertanya padanya, mengapa ayah
harus tiap hari pergi melaut, padahal ikan yang di dapatkan kemarin saja belum
dihabiskan dan masih bisa dimakan sampai besok. Dia hanya menjawab, aku
melakukan semua itu demi kamu nak. Aku ingin engkau tak sama seperti kami, aku
dan ibumu yang dipaksa harus bekerja keras, bekerja kasar tiap harinya. Dan
harus mengarungi lautan dengan ombak yang bisa saja mengambil nyawaku,
ungkapnya.
Itulah kata-kata ayah yang selalu
membuatku mengingatnya dimana pun aku berdiri, duduk dan menulis cerita pendek
ini. Aku ingin menulis kepada ayah dan ibuku bahwa aku janji akan selalu
menjadikannya pahlawan dalam mengarungi hidup. Aku janji akan mengubah nasib
yang selama ini sudah menjadi bagian dari keluargaku, tanpa harus melupakan kata
nelayan.
Adalah kata nelayan yang membuatku
mampu menulis semua ini di tempat yang jauh dari keluargaku. Dan akan
kubuktikan pada ayahku yang tiap harinya mempertaruhkan hidup diombang-ambing
gelombang di tengah lautan, bahwa anak nelayan juga pantas untuk sukses dan
memberikan yang terbaik. Aku ingin mempersembahkan semua harapan ayah lalu
mengatakan kepadanya bahwa dia telah berhasil merawat aku sebagai anak dari
nelayan kecil.
Hingga pada akhirnya, saat aku sukses
nanti, aku ingin mengatakan kepada dunia bahwa aku adalah anak nelayan yang
terlahir dari seorang ayah yang begitu hebat. Sebab bagiku, ayah adalah
pahlawan laut yang tak akan pernah termakan waktu dan akan selalu menjadi
bagian dalam diriku dan pulau kecilku.
Jumat, 28 November 2014
Rabu, 26 November 2014
Menyambut Pagi
Dan saat aku terbangun, aku cuma ingin hinggap di kedua matamu, jikalau senyum adalah bagian yang tak terpisahkan, ketika engkau menyambut mentari;
Selasa, 25 November 2014
Kata-kata Bijak Tentang Cinta
Sampai cinta mengajarimu untuk menerima, maka kau akan tetap berdiam dalam ketidakmengertian;
Bahkan jika kau tak lagi percaya, takdir akan mempertemukan hati yang serupa, sebab dia masih menunggumu;
Pada rinai hujan ada butiran rindu yang jatuh di wajah bumi. Rindu yang sama dan pernah jatuh ribuan hari silam yang tertinggal di belakang. Itulah rinduku pada genggaman tanganmu;
Dan selalu saja ada pagi yang sulit kuterjemahkan pada segelas kopi dan sekerat mimpi yang tak kunjung ranum;
Pada daun yang gugur, angin tak pernah bertanya, pada siapa sepi itu meminta. Ia berjatuhan, layaknya musim memanggil usianya. Sebab pergi, hanyalah sebuah jalan;
Orang yang meminta kekasihnya memilih adalah cinta yang seolah punya dua jalan;
Sebab luka sejatinya adalah penolakan terhadap rasa sakit, maka kesembuhan adalah penerimaan terbaik atas rasa sabar;
Pergilah menjauh dari ketakutanmu, sebab hanya ketakutan yang bisa membuatmu kehilangan;
Beberapa ingatan tak harus disimpan, agar rindu lebih mudah di jalani;
Bahkan jika seluruh daun telah berguguran di makan usia, bunga di hatimu tetap mekar;
Jika hatimu tak pernah pergi, kau tak akan pernah tahu arti pulang, menemuiku;
Sebelum hatimu sempurna, yang akan kau lihat hanyalah benang-benang yang terajut, bukan sutera nan indah;
Belajarlah mengalami, sebab mata tak mengajarimu penglihatan. Meski ribuan buku kau baca, jika satu ayatnya tak kau alami, maka tiada guna pengetahuan;
Sampai kau benar-benar mengenal cinta, kau tak akan berhenti terluka;
Beberapa luka, diciptakan Tuhan tidak untuk sembuh, bukan pula untuk menetap. Jika itu berakhir pada keikhlasan, ia akan terlahir sebagai cahaya, yang bisa jadi adalah hadiah terbaik dari Tuhanmu;
Berbahagialah pada kemestian dari penerimaan yang tulus. Mengajari hati untuk berbaik sangka itu indah;
Katakan saja apa yang hatimu bisa katakan. Itulah keindahan yang sesungguhnya;
Jangan mencari kesuksesan di atas penderitaanmu. Jadilah bahagia dalam setiap proses, sebab tak ada yang sulit jika hati ikhlas;
Cinta itu semacam dentuman dan quantumnya membentang serupa partikel-partikel yang bahkan semesta pun tak sanggup memaknainya;
Sebab kelembutan selalu menjadi milik mereka yang tak menginginkan apa-apa;
Sebab cinta tak butuh alasan;
Sebab yang melihatmu dengan hati tak akan pernah berhenti kagum, bahkan jika waktu menghabiskan pandangannya;
Jika jalan ini benar adalah peta dan arah pada dirimu, maka ijinkan aku takluk pada matamu;
Tutup matamu dan jatuh cintalah, lalu diam di situ;
Pada wajahmu, ada pesona dunia yang tak habis-habis hendak kujenguk;
Dan pada hatimu, ada kilau cahaya yang tak pernah tuntas kumaknai padanannya;
Pernahkah kau benar-benar mencintai sesuatu dan kau merasa sesuatu itu bukan milikmu. Sesungguhnya, dari sanalah keindahan itu bermula. Pada cinta yang rumit untuk dimengerti;
Kemarin itu kenangan, esok adalah rahasia-Nya. Dan hari inilah hidup kita yang sesungguhnya. Maka jangan berhenti menjadi yang terbaik;
Jika doamu tak lagi cukup, keringkan saja rindumu dalam air mata. Kelak air mata itu akan mengalir di surge menggantinya dengan bidadari pada rupamu;
Di sana, kan kau temukan aku dan masih mencintaimu;
Kadang-kadang kita merindukan sesuatu tanpa kita minta. Saat itu tiba, percayalah, rindu itu tak datang sendirian. Di baliknya, ada sunyi yang sedang bergegas mencari tempat untuk di temui, olehmu;
Sebab pada setiap subuh, aku ingat doa sederhana kita. Katamu, siapa yang mencintai, tak akan habis dalam kenangan;
Jika kau menangis karena sakit, itulah air mataku yang kupinjam dari lukamu;
Berhenti mencintaiku, jika kau tak sanggup;
Seseorang yang membiarkan dirinya menerima cinta tanpa sebab, adalah kekasih yang sama yang merindukan surga tanpa syarat;
Jangan menaruh kebahagiaan di atas ketakutanmu. Keberanian adalah harta karunmu yang harus kau temukan;
Buatlah kegelapan, agar semua nampak sama warnanya. Dan saat itu pula, jadilah cahaya, agar kau tahu warnamu yang sesungguhnya;
Jangan terlalu lama di pendam, sebab sakit sekarang lebih baik daripada luka kemudian;
Beberapa pertanyaan tak butuh jawaban dan diam biasanya mencukupi;
Dan aku sudah menyimpankan janji untukmu. Sekali mencintaimu, selamanya akan begitu;
Doa yang datang dari hati yang mencintai, tak pernah menjumpai sunyi;
Sebab, tak ada cahaya yang benar-benar terang, jika kau ijinkan hatimu gelap;
Sahabat itu adalah dia yang mengajarkan sakit dan mengobatimu dengan ketulusan;
Tuhan hanya akan mengajarkanmu solusi, jika kau mau mengambil resiko;
Berbelas kasihlah terhadap sesamamu, sebagaimana Tuhan mengasihimu tanpa syarat;
Hanya orang-orang yang berani melihat kegagalan yang akan tersenyum menyambut kesuksesannya. Jangan tidurkan mimpimu, sebab kau tak tahu, kapan mimpi itu akan ranum untuk kau petik;
Semua hal hanya menjadi mungkin, jika kau yakin bahwa kau sungguh menghendakinya;
Bila bunga sudah mekar, jangan lagi kau buat layu, hanya karena kau tak sabar untuk memetiknya. Serupa itulah hati. Tak perlu bergegas menyentuhnya. Jika benar kau menghendakinya, pastilah mekarnya akan tiba pada hatimu;
Kalau kau berpikir sesuatu akan pergi darimu, maka saat itulah kau kehilangannya;
Gaun yang indah tak pernah bertanya pada benang, apa yang membuatnya indah;
Rumah terbaik untuk pulang adalah hati, lalu mengapa kita biarkan ia berdebu;
Kawan yang baik bagimu adalah akal yang zuhud, sementara sahabat sejatimu adalah hati yang ridho. Jika kawanmu gelisah, tanyalah sahabatmu;
Sebab dengan senyum, bukan hanya hatimu yang akan bercahaya, Tuhan pun akan bergembira melihatmu;
Dan jika tumbuh sedikit rindu, pada aku, di ujung doamu. Itulah harapan yang takkan usai oleh apapun. Sebab aku mengingatmu, sebanyak sebutan pada ingatan dalam doamu;
Jangan takut, sebab kebaikan selalu menemukan jalan;
Bahkan jika kau tak lagi percaya, takdir akan mempertemukan hati yang serupa, sebab dia masih menunggumu;
Pada rinai hujan ada butiran rindu yang jatuh di wajah bumi. Rindu yang sama dan pernah jatuh ribuan hari silam yang tertinggal di belakang. Itulah rinduku pada genggaman tanganmu;
Dan selalu saja ada pagi yang sulit kuterjemahkan pada segelas kopi dan sekerat mimpi yang tak kunjung ranum;
Pada daun yang gugur, angin tak pernah bertanya, pada siapa sepi itu meminta. Ia berjatuhan, layaknya musim memanggil usianya. Sebab pergi, hanyalah sebuah jalan;
Orang yang meminta kekasihnya memilih adalah cinta yang seolah punya dua jalan;
Sebab luka sejatinya adalah penolakan terhadap rasa sakit, maka kesembuhan adalah penerimaan terbaik atas rasa sabar;
Pergilah menjauh dari ketakutanmu, sebab hanya ketakutan yang bisa membuatmu kehilangan;
Beberapa ingatan tak harus disimpan, agar rindu lebih mudah di jalani;
Bahkan jika seluruh daun telah berguguran di makan usia, bunga di hatimu tetap mekar;
Jika hatimu tak pernah pergi, kau tak akan pernah tahu arti pulang, menemuiku;
Sebelum hatimu sempurna, yang akan kau lihat hanyalah benang-benang yang terajut, bukan sutera nan indah;
Belajarlah mengalami, sebab mata tak mengajarimu penglihatan. Meski ribuan buku kau baca, jika satu ayatnya tak kau alami, maka tiada guna pengetahuan;
Sampai kau benar-benar mengenal cinta, kau tak akan berhenti terluka;
Beberapa luka, diciptakan Tuhan tidak untuk sembuh, bukan pula untuk menetap. Jika itu berakhir pada keikhlasan, ia akan terlahir sebagai cahaya, yang bisa jadi adalah hadiah terbaik dari Tuhanmu;
Berbahagialah pada kemestian dari penerimaan yang tulus. Mengajari hati untuk berbaik sangka itu indah;
Katakan saja apa yang hatimu bisa katakan. Itulah keindahan yang sesungguhnya;
Jangan mencari kesuksesan di atas penderitaanmu. Jadilah bahagia dalam setiap proses, sebab tak ada yang sulit jika hati ikhlas;
Cinta itu semacam dentuman dan quantumnya membentang serupa partikel-partikel yang bahkan semesta pun tak sanggup memaknainya;
Sebab kelembutan selalu menjadi milik mereka yang tak menginginkan apa-apa;
Sebab cinta tak butuh alasan;
Sebab yang melihatmu dengan hati tak akan pernah berhenti kagum, bahkan jika waktu menghabiskan pandangannya;
Jika jalan ini benar adalah peta dan arah pada dirimu, maka ijinkan aku takluk pada matamu;
Tutup matamu dan jatuh cintalah, lalu diam di situ;
Pada wajahmu, ada pesona dunia yang tak habis-habis hendak kujenguk;
Dan pada hatimu, ada kilau cahaya yang tak pernah tuntas kumaknai padanannya;
Pernahkah kau benar-benar mencintai sesuatu dan kau merasa sesuatu itu bukan milikmu. Sesungguhnya, dari sanalah keindahan itu bermula. Pada cinta yang rumit untuk dimengerti;
Kemarin itu kenangan, esok adalah rahasia-Nya. Dan hari inilah hidup kita yang sesungguhnya. Maka jangan berhenti menjadi yang terbaik;
Jika doamu tak lagi cukup, keringkan saja rindumu dalam air mata. Kelak air mata itu akan mengalir di surge menggantinya dengan bidadari pada rupamu;
Di sana, kan kau temukan aku dan masih mencintaimu;
Kadang-kadang kita merindukan sesuatu tanpa kita minta. Saat itu tiba, percayalah, rindu itu tak datang sendirian. Di baliknya, ada sunyi yang sedang bergegas mencari tempat untuk di temui, olehmu;
Sebab pada setiap subuh, aku ingat doa sederhana kita. Katamu, siapa yang mencintai, tak akan habis dalam kenangan;
Jika kau menangis karena sakit, itulah air mataku yang kupinjam dari lukamu;
Berhenti mencintaiku, jika kau tak sanggup;
Seseorang yang membiarkan dirinya menerima cinta tanpa sebab, adalah kekasih yang sama yang merindukan surga tanpa syarat;
Jangan menaruh kebahagiaan di atas ketakutanmu. Keberanian adalah harta karunmu yang harus kau temukan;
Buatlah kegelapan, agar semua nampak sama warnanya. Dan saat itu pula, jadilah cahaya, agar kau tahu warnamu yang sesungguhnya;
Jangan terlalu lama di pendam, sebab sakit sekarang lebih baik daripada luka kemudian;
Beberapa pertanyaan tak butuh jawaban dan diam biasanya mencukupi;
Dan aku sudah menyimpankan janji untukmu. Sekali mencintaimu, selamanya akan begitu;
Doa yang datang dari hati yang mencintai, tak pernah menjumpai sunyi;
Sebab, tak ada cahaya yang benar-benar terang, jika kau ijinkan hatimu gelap;
Sahabat itu adalah dia yang mengajarkan sakit dan mengobatimu dengan ketulusan;
Tuhan hanya akan mengajarkanmu solusi, jika kau mau mengambil resiko;
Berbelas kasihlah terhadap sesamamu, sebagaimana Tuhan mengasihimu tanpa syarat;
Hanya orang-orang yang berani melihat kegagalan yang akan tersenyum menyambut kesuksesannya. Jangan tidurkan mimpimu, sebab kau tak tahu, kapan mimpi itu akan ranum untuk kau petik;
Semua hal hanya menjadi mungkin, jika kau yakin bahwa kau sungguh menghendakinya;
Bila bunga sudah mekar, jangan lagi kau buat layu, hanya karena kau tak sabar untuk memetiknya. Serupa itulah hati. Tak perlu bergegas menyentuhnya. Jika benar kau menghendakinya, pastilah mekarnya akan tiba pada hatimu;
Kalau kau berpikir sesuatu akan pergi darimu, maka saat itulah kau kehilangannya;
Gaun yang indah tak pernah bertanya pada benang, apa yang membuatnya indah;
Rumah terbaik untuk pulang adalah hati, lalu mengapa kita biarkan ia berdebu;
Kawan yang baik bagimu adalah akal yang zuhud, sementara sahabat sejatimu adalah hati yang ridho. Jika kawanmu gelisah, tanyalah sahabatmu;
Sebab dengan senyum, bukan hanya hatimu yang akan bercahaya, Tuhan pun akan bergembira melihatmu;
Dan jika tumbuh sedikit rindu, pada aku, di ujung doamu. Itulah harapan yang takkan usai oleh apapun. Sebab aku mengingatmu, sebanyak sebutan pada ingatan dalam doamu;
Jangan takut, sebab kebaikan selalu menemukan jalan;
Sea of Love
Diamlah !
Sebab cinta adalah sebutir permata
yang tak bisa kau lemparkan sembarangan seperti batu.
Seandainya hari masih panjang untuk
dilalui, masih banyak hal yang ingin kulakukan. Entah, apakah kau akan ada di
sana menemani perjalananku, atau akan tetap berdiam di sini menanti hari itu
tiba.
Sepertinya kesendirian tidak seangker
yang mereka bayangkan. Setidaknya kita masih bisa saling berkirim berita dan
romantisme adalah gemintang di malam kelam dalam persahabatan.
Bagaimana jika hari itu tidak
pernah tiba ? akankah kau marah ? Tentu, kita hanya bisa berandai-andai. Tiada
kuasa menyimpan janji di hari nanti, yang bahkan kita tidak pernah yakin bahwa
kita akan sampai di sana.
Jadi, mengapa kita tidak mulai untuk
saling menyayangi hari ini, mulai detik ini. Dengan cara yang kita bisa, yang
kita mampu. Jangan pernah kau anggap ini belenggu, atau rasa takut yang merongga
akan kata 'penyesalan'. Bukankah cinta itu murni, putih dan bersih. Bukankah
hari akan terasa lebih indah bagi para kekasih dan para pecinta.
Mari kita langkahkan hati menjadi
seorang kekasih. Hidup bernaungkan cinta. Sementara hari demi hari berlalu, dan
kita beranjak tua. Rasa ini akan lebih teramat menyiksa bila tiada terutarakan.
Kusemaikan cinta melalui doa-doa
dan harapan untuk selalu melihatmu tersenyum di setiap musim, di dinginnya
dekapan malam, di sunyinya angin senja, di muramnya gerimis akhir November.
Matahari kan selalu datang kembali menyinari jiwamu.
Tak akan pernah kuminta apapun
darimu. Mungkin inilah harga yang harus dibayar oleh setiap para kekasih.
Membiarkan semua mengalir adanya. Mungkin akan kukemasi beberapa hal
seperlunya. Menanggalkan semua apa yang pernah kita anggap sebagai kendaraan
kebesaran, dan memulai kembali perjalanan menemukan makna kesejatian hidup.
Menapaki jalan sunyi bak seorang musafir di semesta-Nya.
Kau tidak akan pernah menemukan
keindahanku, selama masih tersilaukan dengan apa yang dianggap akan mengantarmu
menuju kebahagiaan. Luangkanlah waktu untuk sekedar menatapku.
Dapatkah kau rasa sedikit hamparan
dari sorot mata itu. Hanya seiris jendela temui hati yang tergerus luka dan
derita. Mengapa kita begitu takut penderitaan ? padahal darinya kita akan
menemukan diri kita yang sebenarnya.
Tentang airmata, tiada perlu lagi
kau kata menganak sungai. Tentang rasa sakit, kecewa, cemburu, kesulitan dan
prasangka, semua hanya masalah teknis, jawabannya selalu kembali padamu. Jadi
di mana letak semua ini ? pada titik pusat otakmu, sebentuk buah pinus yang
selama ini kau sebut hati.
Last but not least.
Entah bagaimana caranya, dalam
perjalanan hidupmu, kau akan belajar menemukan dirimu sendiri dan menyadari
bahwa penyesalan itu tiada seharusnya singgah di hati. Yang ada adalah
penghargaan abadi atas pilihan-pilihan hidup yang kita buat.
LEDAKAN SEMPURNA
Dulu, masa-masa SMP adalah saat yang paling menyenangkan. Masih segar dalam ingatan, berbagai kenakalan yang aku dan teman-teman lakukan, hingga dihukum oleh wali kelas. Kejadiannya terjadi di bulan Ramadan. Aku masih kelas dua SMP ketika melakukannya.
Kegiatan kami waktu itu hanya pesantren kilat, tadarus Alquran, shalat bersama, dan mendengarkan ceramah agama tiap hari. Tapi pada suatu hari, karena guru-guru sedang rapat maka ceramah agama ditiadakan, jadi ada jam kosong selama dua jam.
Awalnya kami baik-baik saja. Kami hanya mengobrol, bernyanyi, dan bercanda bersama. Tapi karena mulai bosan, entah siapa yang menyarankan kami mulai berencana untuk membeli petasan. Jadilah aku keluar bersama dua orang teman membeli petasan di seberang sekolah.
Langkah pertama berhasil. Petasan dan korek api telah siap di kantong. Sampai di kelas teman-teman bersorak menyambut kami, seakan-akan kami pahlawan penghilang badmood. Langsung saja kami nyalakan petasan tersebut, tapi supaya tidak terdengar petasannya kami tutup memakai tempat sampah.
Beruntungnya kami, petasan berhasil dinyalakan dengan sempurna. Tapi sialnya kami, suara petasan tersebut tidak berhasil diminimalisir. "Duuaaarrrr!" suara petasan menggelegar sempurna hingga terdengar keluar kelas. Anak-anak kelas lain berdatangan ingin tahu penyebab suara, dan yang lebih sial lagi guru-guru yang sedang rapat pun ikut datang.
Setelah tahu penyebabnya, jadilah kami dihukum tidak boleh pulang hingga maghrib, padahal jam pulang waktu itu hanya sampai pukul sepuluh pagi. Kami harus membersihkan satu sekolah, mulai dari semua kelas hingga kamar mandi bahkan juga pekarangan. Padahal kami sedang berpuasa waktu itu.
Kenakalan sempurna untuk masa-masa sekolah yang sempurna. Sungguh suatu kebersamaan indah yang tak terlupakan bagi kami
Arti dibalik sebuah mimpi
Dik!
Malam ini semua itu terulang.Untuk kesekian kalinya aku harus terbangun pada sepertiga malam.Hingga diriku harus meneguk pahitnya peluh yang membasahi batin.Memaksaku untuk mencekik pekatnya hitam sang malam.Dan merobohkan tanggul keteguhan hatiku.
Dik!
Aku memelukmu, untuk kali pertama dalam satu dekade yang telah terlewat.Ketika aku hendak lupa cara merindu.Ketika aku hendak lupa cara senyummu.Kala itu, aku yakin telah bersama dengan dirimu.Kita berdiri pada ujung dinding bibir pantai.Melihat sepoi-sepoi angin menari di atas kibasan ombak dengan bahasa dan gelak tawa mereka.Hingga kita menghantarkan senja menuju langkah akhir Peraduan.
Dik!
Kini semua tak bisa kumengerti.Semua hal yang kulakukan seakan tak pernah terjadi.Aku sungguh yakin telah membunuhnya,lalu kupastikan menguburnya dalam-dalam pada ujung jalan persimpangan ini.Bahkan tanda nisan pun kujadikan bukti akhir penempatannya.
Dik!
Dik!
Kisah pagi ini karena Cinta
Patah hati ?
Mungkin diantara kita pernah merasakannya. Galau , uring-uringan dan kesedihan dampak nyata dari yang namanya patah hati. Ketika kita mencintai seseorang, tapi orang itu tidak mencintai kita. Dan saya tidak ingin membahas ini lebih dalam, yang ingin saya sampaikan ada rasa yang lebih menyedihkan dari patah hati. Yaitu keluarnya teman yang kita cintai dari barisan para sahabat.
Mungkin diantara kita pernah merasakannya. Galau , uring-uringan dan kesedihan dampak nyata dari yang namanya patah hati. Ketika kita mencintai seseorang, tapi orang itu tidak mencintai kita. Dan saya tidak ingin membahas ini lebih dalam, yang ingin saya sampaikan ada rasa yang lebih menyedihkan dari patah hati. Yaitu keluarnya teman yang kita cintai dari barisan para sahabat.
Ya, sangat menyedihkan. Canda tawa , sedih dan duka dalam perjuangan bersama hanya jadi memory masa lalu karena pilihan hidupnya. Ketika itupun saya ditanya "apakah engkau kecewa terhadap dia saat ini", hanya kalimat ini yang mampu saya ucapkan, "yang saya kecewakan bukan ia , tapi diri saya yang tidak bisa menolong dia".
Teman hidup memang penuh seleksi dan eleminasi. Memang kehendakNya yang membolak-balikan hati manusia. Tapi ketika kita menemui mereka yang berguguran, rangkullah mereka kembali. Sebab, dititik itulah dimana kita buktikan bahwa dalam sahabat kita menemukan cinta. Ketika teman kita dalam keadaan futur, jangan jauhi bahkan menghukumi, sehingga ia merasa lelah dan merasa tak ada yang mempedulikannya. Janganlah menganggap mereka yang pergi menjadi sampah sejarah. Rangkullah atau ketika bertemu suatu saat nanti berilah senyuman
termanismu seperti dulu engkau tertawa lepas dalam barisan ini. Dan
tanyalah "apa kabar jiwa yang sepi , apakah engkau tidak merindukan dirimu yang dulu ?"
Senin, 24 November 2014
DAN CINTA
Lamunan mendekap kesadaran, saat angan tak lagi terbangun. Perlahan desah waktu memudar, seiring hingar bingar benak menghilang di tengah desiran hampa. Meninggalkan jejak impian semu yang kini lelah tercabik usang. Dia melangkah berlalu dari ingatanku, menebus sejumlah janji yang terikrar pada hidayah hati.
Deru semilir angin meniup sehelai daun melati, melambai kepergian nafas sang pejalan bumi. Darinya, semua berawal dan ketika separuh hati terbawa bersamanya, aku pun terpejam. Aliran getir pelan menjamah rona pipi yang kini tampak memucat. Derik pedih terucap dari isak batin, dan mengundang duka untuk duduk di pangkuannya. Kemudian berbicara tentang derita "Hanyutkan aku pada alur ratapan, bila ini sungguh benar terjadi. Lalu benam segala mimpi yang terkunci dalam kotak duka."
Deru semilir angin meniup sehelai daun melati, melambai kepergian nafas sang pejalan bumi. Darinya, semua berawal dan ketika separuh hati terbawa bersamanya, aku pun terpejam. Aliran getir pelan menjamah rona pipi yang kini tampak memucat. Derik pedih terucap dari isak batin, dan mengundang duka untuk duduk di pangkuannya. Kemudian berbicara tentang derita "Hanyutkan aku pada alur ratapan, bila ini sungguh benar terjadi. Lalu benam segala mimpi yang terkunci dalam kotak duka."
Petikan sumbang sitar tragedi, berdenting mengiring akhir cerita. Tirai panggung dunia mulai tertutup kala helaan dingin ironi terhirup baginya. Secercah harapan beranjak berjalan, menghilang di ujung kekalutan. Nuansa kesedihan teracik dalam seduhan sendu "Mengapa air mata ini serasa mengering meski semua telah berakhir ? bukankah ini akhir yang ditujukan bagi arti hidupku ? lihat aku ! diri ini seakan terasa begitu semu dengan adanya sebaris doa sebagai selimut takdir. Membalut hangat jiwaku.
Tidak terbayang olehku, raga ini telah menyongsong ujung waktu. Saat kasihku masih hinggap di hati cintanya. Sayang, kekasihku,dan aku mencintaimu walau detik tidak lagi bersamaku. Namun detaknya akan tetap berdegub di jantungmu. Ingatlah aku, karena separuh hati akan kembali menyatu ketika bumi melelapkan tidurmu. Dalam heningnya keabadian.
Dan aku tak pernah terfikir untuk merasa seperti ini, namun sejauh yang ku tahu, cintaku telah mengenalmu. Dan ketika malam hadirkan sunyi, kupeluk kau dengan mimpi, hingga pagi menjelang kasihku kan tetap mengenang. Dan jika, perpisahan harus terjadi, sudah kutuliskan sebaris kata hati. Simpanlah dalam sanubari, biarkan ia selalu menemani
Dan nanti. bila detik waktu terdengar sewindu, maka kepaklah rindumu. Bawa kemari dalam pelukku bahwa sesungguhnya dua hati telah menyatu.
Untuknya
Menikmati pagi di Bumi Tamalanrea Permai, bersama Ck-Ck Community dalam B355. Kukutipkan satu puisi buat adinda yang jauh di seberang sana, yang menjadi doa hingga membuatku tersipu malu. Duhai cinta, perkenankan aku mengenalmu dengan paduan sempurna, antara akalku yang memutar logika dan beningnya hati yang mencondongkanku padamu atas bimbingan Allah Taala.
Perempuan Berkerudung Merah
Engkau perempuan yang berkerudung merah, di wajahmu-lah kuhabiskan mataku. Lalu pucuk-pucuk kenangan menghabiskan sunyi dalam sore yang tak kunjung pergi. Kita mungkin bisa alpa pada ingatan, sebab janji akan surga, bukan di tangan kita. Maka, tataplah aku pada sebuah episode bernama rindu, yang turun ke hati dan menggubah sajak menjadi kupu-kupu.
Dan seketika kulihat kau mengemasi takdirmu pada perjumpaan yang niscaya, "cukuplah cinta dalam sebutan nama", sebab kita bukan siapa-siapa di jalan ini, katamu. Kau, seperti kerudung itu, tak kan bisa menjadi kain yang indah di mataku. Sebab benangmu, bukan aku yang menenunnya.
Ungkapan Cinta
Dears...
Ungkapan cinta itu tak melulu dengan kata I Love You. Tak selalu seharum mawar. Pun tak hanya semanis cokelat. Sebab, cinta sesungguhnya punya banyak bahasa. Mungkin kita yang terlalu sedikit memahaminya.
Terkadang cinta mewujud hantaman yang menjatuhkan, seperti ungkapan cinta angin kepada daun, untuk mengantarkannya pada persinggahan takdir selanjutnya. Terkadang cinta membahasakan dirinya dengan teguran yang membuat meleleh air mata, demi memberimu sensasi agar engkau mengerti. Dan terkadang cinta mengungkapkan dirinya dengan diam untuk menjaga lisanmu, dari yang tak perlu diungkapkan, pula menjaga hatimu dari noda yang menghitamkan.
Tak jarang pula cinta mengekspresikan dirinya dengan tak acuh dan menjauh demi memberimu waktu untuk sendiri, menenangkan diri dan berpikir ulang tentang kesalahan yang mungkin kau perbuat.
Dears...
Lagi, ungkapan cinta yang sering tak kita ketahui adalah menyebut namamu dalam doa, memohonkan kebaikan kepada-Nya, Sang Pencipta Cinta. Dan tak lupa, cinta menyemangati ketika kamu mau menempuh jalan yang benar, meskipun banyak orang mengindarinya. Serta memapahmu ketika kamu tak sanggup berlari hingga tetap melangkah bersamanya.
Sungguh, ungkapan cinta yang seperti ini jauh lebih mengesankan dari sekadar I Love You, mawar atau cokelat. Lebih dahsyat dari sekadar ucapan sayang. Ini cinta yang rela engkau membencinya sementara. Ini cinta karena Allah.
Semoga kita tidak akan menyia-nyiakan setiap ungkapan cinta itu.
Ungkapan cinta itu tak melulu dengan kata I Love You. Tak selalu seharum mawar. Pun tak hanya semanis cokelat. Sebab, cinta sesungguhnya punya banyak bahasa. Mungkin kita yang terlalu sedikit memahaminya.
Terkadang cinta mewujud hantaman yang menjatuhkan, seperti ungkapan cinta angin kepada daun, untuk mengantarkannya pada persinggahan takdir selanjutnya. Terkadang cinta membahasakan dirinya dengan teguran yang membuat meleleh air mata, demi memberimu sensasi agar engkau mengerti. Dan terkadang cinta mengungkapkan dirinya dengan diam untuk menjaga lisanmu, dari yang tak perlu diungkapkan, pula menjaga hatimu dari noda yang menghitamkan.
Tak jarang pula cinta mengekspresikan dirinya dengan tak acuh dan menjauh demi memberimu waktu untuk sendiri, menenangkan diri dan berpikir ulang tentang kesalahan yang mungkin kau perbuat.
Dears...
Lagi, ungkapan cinta yang sering tak kita ketahui adalah menyebut namamu dalam doa, memohonkan kebaikan kepada-Nya, Sang Pencipta Cinta. Dan tak lupa, cinta menyemangati ketika kamu mau menempuh jalan yang benar, meskipun banyak orang mengindarinya. Serta memapahmu ketika kamu tak sanggup berlari hingga tetap melangkah bersamanya.
Sungguh, ungkapan cinta yang seperti ini jauh lebih mengesankan dari sekadar I Love You, mawar atau cokelat. Lebih dahsyat dari sekadar ucapan sayang. Ini cinta yang rela engkau membencinya sementara. Ini cinta karena Allah.
Semoga kita tidak akan menyia-nyiakan setiap ungkapan cinta itu.
Diamku bukanlah Akhir
Diam bukan berarti pasrah, karena terkadang kata terakhir menyisakan kenangan menyiksa yang akan selalu terukir. Bukan berarti rela karena sebuah perpisahan memang sudah menjadi kenyataan dalam kehidupan. Dan diam bukan berarti tak berharap tentang rindu yang akan bersatu dalam kejamnya waktu yang telah lama membuat menunggu.
Ini bukan perpisahan, karena jarak yang membentang hanyalah sebuah jembatan
yang akan kita telusuri dengan penuh persiapan, sampai akhirnya kita
berjumpa dipertengahan jalannya. Ini bukan perpisahan, tapi hanya ujian yang harus dihadapi atas perasaan yang menanti keridhoan Tuhan semesta Alam. Semoga do'a selalu menjadi pengingat ketika diri tak ingin lagi setia menanti dalam kesabaran.
Andai Saja
Arakan awan telah menyebar dilibas baskara siang
. Pada langit tua, keriput bumi masih saja bergulat dipijak jejak-jejak bernama. Pada apa dikata ceria
menuai, syair malang membujang. Menggenap lekang antara kita makhluk yang sama jenis merupa.
Andai saja jiwaku bisa kembali berreinkarnasi, akan kurengkuh dirimu dalam peluk abadi. Mengejewantahkan dunia dalam kutuk meregang, dan membiarkan sebongkah rasa berpadu dengan rasamu tak lekang.
Andai saja, sedikit cumbumu melumerkan tirai-tirai rahasia kasih. Kan kudekap asa dan jiwamu dalam surgawi dunia. Melengkapi tautan perih melirih dan menyenandungkan penyatuan dua jiwa terlaksana.
Tetapi, aku hanya si kapa yang terasing dalam nyata penuh kepahitan. Memendam gejolak jiwa membening dalam aura yang tak lagi memutihkan. Maka, pahamilah dan resapilah
bahwa kita sudah berakhir di siang tak tenang. Aku dan engkau, kini
telah menghilan.
telah menghilan.
Ciuman Pertama
Kupandang lekat wajah itu,
perlahan kami semakin dekat. Getaran aneh menjalar sekujur tubuh. Darah
mendesir hebat. Tulang-tulang seolah meminta terlepas
dari sanggaannya. Mata memejam.
Dan cup !
Sebuah kecupan hadir di bibir.
Basah. Manis. Pahit. Asam, dan berjuta rasa yang tak dapat dijabarkan. Jiwa
laksana terbang ke nirwana. Dunia serasa milik berdua. Tersenyum penuh kasih
sayang, merengkuh dia dalam pelukan. Hangat. Indah. Tak terkatakan.
"Apa kau menikmatinya ?"
Ia bertanya mencium aroma tubuh ini. Tengkuk mulai merinding. Dimainkannya rambut
penuh rasa tak tekatakan.
Dosa ! Satu dosa telah
dilakukan. Penuh kesadaran. Dalam menuruti wujud nafsu yang berdalih cinta. Di
sudut remang kamar setan tertawa penuh kemenangan. Malaikat mencatat amal jelek
yang paling dibenci Tuhan.
Sejenak jiwaku luruh
mengingat-Nya. Sisis jahat dan baik bertarung. Pahit dosa mulai dikecap. Diri
tersadar. Lumpur hina telah dimandikan sengaja, sempurna membalut tubuh. "Aku
pendosa, Tuhan," lirih mulut berucap.
Ciuman terhadap manusia begitu
membekas. Tak pernah teringat dalam benak, kapan raga mulai mencium tanah
menyembah-Mu. Asyik bercinta dengan-Mu di tiap sepertiga malam. Kenapa bukan
saat dengan Tuhan yang paling membekas ? Lihatlah kemari, aku sejati-jatinya
kehinaan berwujud manusia.
Tuhan, maaf. Aku lupa pertama
kali mengenalmu, tak seingat saat awal mengenal cinta sesama. Aku lupa pertama
bercumbu dengan-Mu, tak seingat pertama bercumbu dengannya.
Maaf, Tuhan. Aku lupa saat-saat
menangisi dosa, tak seingat saat menangis ditinggal pergi kekasih manusia. Lemah
diri ini penuh kegilaan dalam dosa. Semoga kaki ini mulai menapaki jalan-Mu,
penuh dengan keridhoan-Mu.
Minggu, 23 November 2014
Jejak Senja Di Ujung Hari
Mentari
memeluk senja di antara gerimis dalam lipatan hujan. Sejuk angin bersenandung
dengan alunan merdu dari balik lembah. Walau hanya menyentuh sebatang ilalang dengan
gemericik air di celah bebatuan. Namun, jejak-jejak senja tetap menapak dan
membias jingga tiada lara.
Selintas
bayang awan melukis pelangi yang hadir menjemput kelam. Hanya sepintas dan
berlalu meninggalkan ujung hari di langit barat. Itulah, jejak senjaku di ujung
hari.
Gugusan
mega mengarak senja yang terus bertanya-tanya, tentang jalan yang kau bentang
sebagai sajadah untuk sujud di tepi-tepi waktu, digigir-gigir beku yang
menggigilkan kedirianku yang melayah rendah mendekati sarang-MU.
Matahari
yang tunduk, setinggi ujung kaki yang menekuk, menekuri gerbang petang-MU. Sayapku
terus saja memukuli udara, mencari pijakan kata untuk menambatkan luka yang
menganga di dada. Dan itulah, elegy senjaku kali ini.
Aku
tersesat, langkahku seakan rapuh tiada daya. Keinginan dibenak seakan tiada
mampu menopang. Berlalu hingga lenyap dalam pandangan buramku. Sesak raga ini
dihimpit perih kehilanganmu. Melahap sisa-sisa asa terpatri dihati. Engkau
berlari begitu cepat sampai semangatku memudar disinggasananya.
Bak
lilin kecil diterpa badai, perlahan namun pasti. Redup sampai cahayanya hilang
dalam terkaman, lalu meninggalkan puing-puing sepi di ujung senja. Lukisan
senyum itupun terpaku di atas angan.
Setiap
saat kau raba dengan matamu, hati yang senang jadilah tenang. Kau titipkan
asamu pada jemari Tuhan tanpa wujud. Dilantunan doa penyubur harap di dalam
hati, bersama sujud ikhlas di ujung derita.
Aku
disini, dalam riak ramai di ufuk senja ku bertengger. Dalam lantunan dzikir dan
doaku pada-Nya, untuk bertemu dirimu di akhir senja. Berharap Malam menentukan
takdir kita, dan bersama hari esok di singgasana cinta. Di sini, di ufuk senja,
aku berteman doa dan harap hadirmu, Sang Pemilik Jingga Senjaku.
Lihatla
senja di ufuk sana, begitu indah dihiasi suasana alam henbuskan angin. Membuat daun
nyiur melambai kegirangan dan bersorak gembira dengan gesekan daunnya. Mentari
pun enggan untuk melewatinya, sebab terkesima dengan jingganya senja. Namun ia
tak kuasa melawan kehendak kuasa dalam malanggar garis yang ada. Dan keinginan
hati pun kian sirna dibuatnya.
Seiring
angin berhembus dengan sayunya, burung-burung pun berbondong untuk pulang, meninggalkan
bayangan tak berjejak. Dan suasana pun menjadi sunyi sembunyi di balik sepi. Menata
satu cerita menjadi kenangan dalam jiwa. Mempersatukan suka dalam duka, suram
dan keindahan menjadi coretan lama di dalam kehidupan.
Bintang
pun mulai beranjak dari peristirahatannya dan bertebaran menghiasi malam dalam
kekelaman. Mengantar sebuah kenaangan yang dititipkan senja ketempat yang
hakiki dalam keabadian.
Jika
senja tiba, yang kulakukan adalah mengenangmu, yang dulu menggantung harap
tentang makna cinta untukku. Sebab, kaulah senja itu, yang hadir kala
penghujung hari menghampiriku. Kau cerah dalam kemilau menakjubkan dan aku renta
dalam penantian menunggumu.
Kaulah
senja itu, yang begitu hangat memeluk jiwa sepiku. Tapi kau begitu angkuh
meninggalkan bayangmu. Kau bercinta dengan rembulan yang begitu mempesonamu.
Dan kau tergelincir dalam rengkuhan bidadari cantik yang memperdayamu. Kini,
engkau hanya meninggalkan bayangmu yang telah tertanam dalam benakku. Dan engkau
telah menghapus aku, kala senja berganti menjadi makna cinta.
Kala
senja berkilau cahaya emas menyapa dan mendekapmu hangat selaksa ibu memeluk
anaknya. Adakah engkau menyadari kebesaran Tuhan dan bersyukur atas
karunia-Nya. Ketika hembusan angin menyisir kulit di sekujur tubuhmu dan menawarkan
kesejukan pada gersangnya pori-porimu, adakah kau sadar hidup ini hanyalah
persinggahan dan bberusaha meraih kebahagiaan sejati.
Renungkan,
saat senja semakin kabur dari jarak panjang dalam mengiringi langkah mentari
yang kian terbenam. Adakah terlintas dibenakmu untuk membasuh wajah kusutmu,
lalu bersujud dan berdoa pada-Nya, atas tutur kata yang telah terucap dan tindak-tanduk
yang telah tegerak, demi pijakan dan pergerakan di hari esok.
Bila
senja datang, aku selalu memandang dan melukis wajahmu dengan bias-bias jingga,
yang bertintakan rasa berkuaskan jiwa dan menjadikan langit sebagai kanvasnya.
Angin bertiup dengan sayu menyapa raga, rumput rumput bergoyang bergerak penuh
tanya, burung-burung pun berkicau dalam teriakannya. Namun sayang, aku tak
mengerti bahasa isyaratnya. Aku hanya memandang dan terus memandang raut
wajahmu yang kulukis indah di senja sana, yang selalu membuatku teringat
denganmu, seakan waktu tak bisa menghapusmu dalam benakku.
Di
balik senja, perasaan yang indah menghantui jiwa dalam diri, yang lama terpendam
membelenggu rasa tak bertepi, membuatku terseret jauh dengan arus tersembunyi
disaat hati mulai berani meluahkan rasa ini. Ketakutan datang melanda merasuk
dalam jiwa dan membuat rasa ini terpendam hadirkan resah, hanya bertapa dalam
pusaran sukma.
Masih
ingatkah janji yang pernah kau ucap, ketika senja menebarkan warna jingganya.
Sementara aku, menyaksikan bait-bait yang kau untai menjadi syair yang begitu
indah. Hingga burung-burung terdiam sejenak, dalam kicauan yang sedang
memanggil sahabat-sahabatnya untuk kembali ke pesanggrahannya.
Angin
pun membelai mesra suasana jingga, hingga tak satupun suara dedaunan terdengar membisik
telinga dalam jiwa. Itulah saksi janjimu yang merasuk batinku. Aku takkan
pernah lupa saat itu, karena itu bagian dari hidupku, isi dari irisan jiwaku, yang
membuatku mampu tegar selalu mengarungi hidup karena janjimu.
Kupandangi
mentari sore yang perlahan tenggelam dan meredup. Cahaya merah perlahan hitam
kelam, semua mulai tak terlihat mata. Itulah yang kurasa cinta, cinta dalam
hati pengecut ternama yang hanya bisa menikmati indahnya dan tak sekalipun bisa
mengejar dan menggapainya.
Hati
itu, ingin kumiliki sekali saja, dan mungkin bukan untuk selamanya. Maka ijinkan,
walau sejenak bersemi, menghiasi hatimu yang pernah terlukai. Semakin malam
merajai, sebanyak jumlah bintang dan itulah kau yang membayangi setiap pijakan
kaki.
Kau
lihat untaian kalung mutiara, ialah lakumu disetiap butirnya. Melingkari hati
yang lama sepi dan mengindahkan ceceran hari dan mimpi. Kau hirup udara pagi
sebuah kota gunung, itulah yang kurasa terus menghantui. Semenit demi semenit,
dingin terasa, beku dan mungkin mati. Cobalah hisap dalam-dalam, maka engkau
akan mengerti.
Aku
merasa pecundang bodoh berpakaian banci, tak punya daya diri, dan hanya hati
ini yang mampu kuberikan utuh tanpa kecuali. Aku bukan pejantan pemikat
beraneka warna dan harta. Aku juga bukan lelaki buluh perindu yang sungguh
dikagumi. Bukan keperkasaan buaya di sungai cinta dan aku juga tak punya mulut
manis yang terjaga.
Aku
mungkin keledai berhati baja dan cecunguk liar di taman surge. Aku mungkin
adalah ketulusan senja yang pernah berjanji dan akan terus ada. Untukmu bunga
taman hati, akankah cinta bersemi untuk budak gilamu. Semoga, engkau mengerti
arti kedamaian sejati dalam rembulan.
Jika
tiba hari nanti akan terjadi yang tak teringinkan, maukah bermukim sekali dalam
usiaku. Setiap musim bersama rajut sejuta asa, hati dan mimpi untuk bertahan
dalam kebekuan, kekeringan dan badai. Begitu banyak syair tercipta dari jari
dan hati pujangga dewasa. Jika tak juga menemui ujung pangkalnya, apalah tujuan
anugerah jatuh cinta. Padahal, ingin sekali kulihat sekenario langit yang
terbuat dari serangkaian peristiwa. Sebuah akhir perjalanan cinta dari Maha Karya Sang Pencipta bagi pecundang
terluka.
Kita
tiba di gerbang senja setelah melewati embun di bening pagi. Lalu menjemur asa
di bawah terik siang dan perlahan langkah beranjak menuju petang, menyusuri
jejak dan mencari jalan pulang
Dan kita telah
tiba di gerbang senja, saat langit mengurai rona jingga. Benderang tak lagi
sebinar pagi dan mentari yang membakar wajah bumi.
Kita
telah tiba, menerobos tubuh senja, saat cakrawala mulai mengibar gulita,
mengajari kita memahami dua warna. Hitam dan putih dalam lembar waktu hingga
malam dating dan mengantar kita pulang ke titik awal perjalanan.
Kepada
senja yang menjingga, kukabarkan resah tentang hati yang ternanar, dalam kian
risau mendekap pada tatapan rasa. Wahai malam yang kian gulita, selimuti aku dengan
kehangatan doa, biar resah sirna luruh.
Segala
keluh menilas rindu di jejak pasirku. Biarlah rindu ini tetap ku simpan, sembari
menunggumu pulang. Sebab wajah pagiku, kini menyemburatkan kemilau. Hanya
kepadamu agar tatap nanarmu menikamku syahdu.
Puisi
tertuju dari senja di tempatku, untuk masa sebelum malam langit tempatmu. Dari
malam yang membisukanku, untuk waktu yang gelap menyepikanmu. Tentang rinduku
padamu serpihan rusuk yang tertuju menyatu ragaku.
Dari
nyanyi hatiku pengusir cermin berkaca di matamu, hapus lukis air di rautmu.
Sebab, aku tahu kau pun merinduku, ungkap puisiku menyapu lukis itu. Dan karat
malam menikam, tersungkur sudah senja menyalam. Kini, mulai kuhujamkan tinta
hitam dan membentuk bait sajak menyulam, rintih kertas bercerita apa kali ini, bisik
hati ingin memulai.
Tersirat
di benak tentangmu rindu memekik, seperti senja yang bertelanjang mimik. Sebab,
kau akan mulai rindu saat ini, dan saat aku memejamkan mataku, kau hanya
seperti masa yang terkalahkan suara jangkrik. Berceritalah malam, aku ingin
sandarkan sejenak lelah siang yang tadi mengurung gelapmu, tambah senja
mengalah.
Diantara
pertempuran dua masa datang dan berlalu, aku membisu menggulung kanvas hatiku,
dan tercecer ungkap jiwaku. Waktu akan selalu memulai dan tertuju, dan aku
hanya pembonceng menyirat sepi rinduku di tengah pagi, siang, senja hingga
malamku.
Serumpun
pilu membangkitkan rinduku, namun dahaga kalbu akan selalu menunggu hadirmu. Terseok
sudah seolah pikiranku, membentuk beku kaku jiwaku. Sontak aku tertegun, wajahmu
nan ayu berayun. Menggoda benak untuk melantun dan merapuhkan jejak-jejak
mengalun.
Aku
menunggumu di antara sepi bias rona malam yang menggrogoti. Aku menantimu di
tepian dehidrasi, di tengah lautan biru hati. Pantaskah aku di sini, tepatkah
aku berdiri, meski terkoyak masa berganti. Aku yakin dengan menanti, kutunggu
hingga kau merapat hati. Dan malam, maukah berbagi sayap dinginmu, sebab aku
ingin berselimut rindu dan memeluk hangat senyum dari jauh kekasihku, ragu hati
menyampaikan tanyaku.
Sementara
sunyi memeluk ranting, meraba gelap tak terusir. Sendu terdengar kering, menyayat
hati mengukir. Bertepuk kedua bibir, tertetes kaca berbulir. Kosong menghempas
jiwa dan sepi melepas kata, temui aku dalam mimpi agar kuberi jawab atas rasa.
Detik terhitung
menuju menit menunjuk beku. Hingga datang semua dalam ragu dan masa berlalu
dalam bisu. Sementara jawab akan tanya tak jua kutemukan. Hanya tatap kosong
tertuju pada detak waktu kala semu masa itu.
Datanglah
kunang dan ceritakan kisah tentang gelap yang kau belah. Tentang terbangmu yang
tanpa resah. Bawakan rinduku diantara redup terbangmu, menuju dia yang jauh tak
tersentuh.
Kini,
pagi kembali datang mencabik mimpi yang kukarang. Melepas sepi dan membawa
kembali rinduku. Siang tertuju, tuntun aku melawan rinduku hingga senja
berbatas malam agar galau selongsong mimpi menjauh.
Jejak-jejak
lampau mengorek janji dan Jauhmu tak mampu ku dekati. Membentuk ungkap hati, menuntun
setengah telanjang sang puisi. Merangkul setiap kata, menyusun sajak tak
berbunyi. Ya, semua telah rapi tersusun di hati, hingga senja kembali untuk
kusetubuhi. Hingga gelap hinggap lagi, semua hanya tertulis dalam bait mengeram
diantara enam benua perasa yang tertera diraga menjiwai.
Di
kota seberang, engkau kini menapakkan mimpi dan ingin yang tertepati. Sementara
aku menanti dengan setiap hambar sepi dan bergenggam janji saat kau tiba nanti.
Tak sadar senja kembali membaca untuk menulis cerita dalam kata. Senja sisakan
sedikit tempat untuk coretanku, pintaku saat senja mulai terluka.
Garis
jingga berkarya, membentuk bias bermata. Melukis indah surga dunia dan menjatuhkan
daun tanpa sayat sengaja. Butir hujan tersambut cawan hampa, membentuk bunyi
bertempo rasa, nada sempurna dari dunia,kata hati bersambung.
Berhenti
sudah tangis langit dan mengering sudah hamparan luas biru berbukit. Hanya
mengenal pagi, sSaat jauh terlewati mimpi. Aku bangkit dalam tutur tersadar
rindu ini, menunggumu terbang datang kesini. Dan ketika kau selesaikan membaca
puisiku, terbanglah, sebab aku telah siap dengan benang hati terikat di ujung
anak panah cinta, yang mampu membuatmu tersenyum saat ini.
Aku
ingin melambai dalam bunga terlelapku, membawamu hingga tersadarku. Meski hampa
tergenggam igauku, apa salah jika jarak mampu kutempuh dengan pejaman mata ini.
Senja
yang medung, kau seakan acuh dengan segala abu-abumu. Di kejauhan aku melihatmu
kelabu, bagai ironi yang tak terlihat layu. Kini, sudah menjadi suatu hal yang
membiru. Tak aku dengar kata merah lagi untukku, bahkan mimpi pun enggan datang
untuk sekedar merayu. Semua tersembunyi begitu rapi dan anggun, tersembunyi
dalam ketersembunyian kalbu.
Namun
tanpa sadar teriakan keluar dari dalam kalbu itu, menjerit seakan memekakkan telinga
yang selama ini tertutup, tertutup oleh embun pagi. Kejernihannya pagi itu,
ternyata kini hanyalah ketakutanku. Dan kini, senja pun sudah melewati waktu.
Hidup
indah saat melirikmu bak sosok jelita penuh pesona. Dengan bibir terbungkam
mengucap kata bahwa tingkah tak menentu saat di depanmu. Inikah cinta
sebenarnya yang bertemu diruang syahdu, saling bercanda menatap muka dan berdebar
hati saat bertemu. Keinginan hati pun ingin memiliki mentari senja dengan rona
wajah terpancar indah, saat kuungkap kata cinta kala itu.
Sinar
yang dipancarkan begitu terang dan warna yang ia miliki pun begitu indah.
Matahari senja ini terlalu indah, sampai mengingatkanku pada seseorang dengan
jingganya. Saat itu, aku berada di sampingnya menyaksikan betapa indahnya matahari
senja. Matahari yang mulai menghilang dari pandangan membuat jingga yang kunanti,
ingin kulupakan.
Berbeda
dengan sekarang, aku berada di tempat ini hanya sendiri. Tanpa adanya matahari
senja yang menemani, ku coba menatap langit. Mendung dan disertai tetesan air,
seakan-akan alam ini mampu membaca perasaanku saat ini.
Ku
ingin mengulang waktu berada di sini bersamanya, menyaksikan kembali matahari
senja itu. Namun itu takkan mungkin terjadi lagi. Sebab, cintaku ini akan
menjadi masa lalu dan hari esok, yang akan mengiringiku sampai nanti, sebagai skenario
hidup yang harus ku jalani.
Kulihat
pesona senja kala, permadani merah jingga terbentang megah di atas sana. Menghias
langit seolah tergelar cerita tentang indahnya dunia fatamorgana. Kutertegun
menatapnya, betapa indah Tuhan melukisnya.
Kulihat
pesona di senja kala, luas membentang birunya samudra. Berganti kilau emas
bercahaya, perlahan surya redup sembunyikan wajahnya. Betapa Allah Maha Kuasa.
Kulihat
eloknya wajah senja kala. Pucuk padi hijau bergerak seirama, tertiup semilir
angin lembut menerpa. Capung dan burung menari gemulai di atasnya. Sungguh,
Tuhan menyajikan begitu harmonisnya.
Kudengar
merdunya suara di senja kala dan kumandang adzan maghrib membahana. Menyusup
lembut ke relung jiwa, mengajak insan pulang ke rumah-NYa. Bersujud syukur atas
segala nikmat Tuhan.
Senja
yang hening dalam rengkuhan mendung, membawa rintik gerimisdan hati pun
bingung. Sehingga hanya bisa ku peluk sepintas bayang, kasihku yang tersayang
jauh dipandang. Aku terdiam sesaat, apakah yang terjadi bagai angin lewat. Tak
aku tahu, apa yang akan ku dapat. Sementara, dengan mengingatmu hanya hasilkan
rindu yang hebat.
Gerimis
senja hadirkan sejuta cerita tentang hati, tentang kita. Tak ada peraduan
hangat seperti saat-saat kita bersama, hanya bahagia dan cuma itu yang kurasa. Kepadamu
kurebahkan harapan terindah dan semoga kau tak pernah hilang di hatiku untuk
selama-lamanya.
Biarpun
aku menamakannya tiap senja, kata-kata ini tidak kutulis setiap senja tiba. Karena
senja cuma mampir sebentar sedangkan kata tiada kelar. Aku sering berbincang
bersama senja, kadang sembari minum kopi atau menonton televise yang menyiarkan
nabi-nabi. Aku dan senja berbincang apa saja, dan perbincangan yang menarik
adalah tentang kepulangan dan keberangkatan.
Kata
senja, manusia senang menjadikannya penanda untuk dua dikotomi tanpa criteria. Bicara
pulang, ia bercerita tentang tenaga kerja yang baru pulang setelah diberi upah
sepotong lepet, dan istri simpanan pejabat yang baru dijenguk sepulang kantor
sembari menunggu macet. Bicara berangkat, ia bercerita tentang satpam yang
berangkat dinas malam menjaga palang, dan pencuri yang berangkat mencari celah kantor-kantor
yang baru ditinggal pulang.
Senja
memang menyenangkan ketika setara. Coba ketika senja menjadi penguasa di atas
kepala, rasanya ingin segera kututup jendela. Andai saja, senja hadir lebih
lama dan kalau perlu, selamanya saja senja. Bersama pagi membentuk keluarga
dalam harmonis persahabatan di Ck-Ck Community, dan cita-cita meneduhkan kepala
dari pemikiran lara.
Aku
dan rasa itu menyatu satu, satu untuk dan dari satu. Semuanya melebur dari aku
dan kamu, menjadi sebening kasih menyejukan. Aku dan semua telah menyatu, tanpa
apapun pembatas ruang dan waktu. Aku merindumu sepanjang nafasku dan menantimu
di penghujung senjaku. Bila mentari telah letih bersinar, di tepi pantai itu, ku
jatuhkan air mata untukmu satu di jiwa.
Langganan:
Postingan (Atom)