Rabu, 19 November 2014

Kisahmu Tentangku

Membaca kisahmu serupa mengeja bait-bait puisi kehidupan, membelukar dalam kitab batin yang paling purba. Tak sanggup kujenguk semacam bayang perihal tapak-tapak juang yang engkau tempuh, sebab terlalu pahit namun sabarmu ialah jejalan yang kau pilih untuk menemu teduh.

Aku yakin segala gelombang musibah yang menghantam biduk hidupmu akan usai, sebab aku mendoakan keselamatanmu dalam segala. Semoga engkau  lekas berkarib dengan renyai tawa bahagia hingga gelaknya sampai padaku, sebagai penanda bahwa  doaku telah menjangkau langit. Tetaplah tabah,  meneguh sabar dengan sebenar ikhtiar, agar bahagia terpancar dan sempurnalah takdirmu sebagai wanita pilihanku.

Bahkan ketika kau sebut akulah algojo yang mengeksekusi cintaku sendiri pun aku bungkam. Aku tahu, dulu jari-jemari kita saling bertautan erat untuk menyeberangi jembatan yang pijakannya
telah rapuh. Kini kita telah sampai di seberang jurang  saling ketergantungan.

Kita telah dewasa. Pijakanmu sudah terlalu kokoh untuk alasan kita tetap berpegangan. Cobalah berontak pada ingatan yang memagari kenangan dan membuatmu enggan mencari tangan baru untuk kau genggam. Atau kini kau ingin memilih  berbalik dan menyusuri kembali jembatan tempat kita dulu menyulam cinta.

Aku takkan ikut. Karena kini yang tersisa hanyalah tali, tanpa papan pijakan lagi. Kau mau menyusuri jalan kematianmu sendiri? Jangan konyol. Aku sudah membunuh cintaku. Kau ingin aku jadi terdakwa yang juga membunuh cintamu? Aku mohon, bangkitlah.

Ketika kita bersama, kita bernafas dengan udara. Dan ketika kita saling sendiri, udara masih menjadi objek yang kita hirup, lantas apa yang sulit? Sekarang kau harus lebih sering bercumbu dengan rasa lupa. Merayunya agar mengubur kenangan yang terukir  pada retakan-retakan ingatanmu.

Lupakan saja kata-kataku tentang meskipun sakit, setidaknya ada bahan untuk diceritakan pada anak cucu kita kelak, karena aku, kau dan semua orang pasti pernah, dari semua kisahnya ada sedikit bagian cerita yang ingin dan harus kita hapus.

Selama bumi belum berhenti berotasi dan aku masih berpijak di atasnya, mungkin namamu  yang paling sering kuhela dan kusalurkan kesetiap jutaan  sel dalam tubuhku. Dan namamu yang paling sering aku dengungkan saat dahiku sejajar  dengan tempat kau berpijak.

Walau usia terlipat waktu,  walau janji tak lagi indah, pahamilah, sejatinya cinta ialah pemaknaan jiwa pada semesta rindu di waktu tak berbatas,  hakikat dari sebuah rasa yang bersanding rupa paru waktu dunia,  seisinya adalah jembatan penghubung jiwa dicumbu rindu, mekar dalam kuncup-kuncup hati melabuhkan cinta, niscaya, disanalah keberadaanku sesungguhnya, dalam tiap masa menyebut kebesaran Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar